Kilasan Kenangan Hitam, “Carok”

Oleh : El  Iemawati

              Barangkali mendengar kata “Carok” akan membuat miris hati, perasaan dan jiwa. Kata ini sangat identik dengan aroma kekerasan, karena yang ada dalam bayangan adalah tindakan perkelahian dengan menggunakan senjata tajam berbentuk celurit, melengkung dan sangat tajam pada bagian ujungnya. Tentu saja image yang muncul dalam benak adalah oknum yang berlaga pada pertarungan ini adalah orang Madura, karena dari wilayah inilah budaya kekerasan tersebut berasal dan setiap kali terjadi carok maka oknum pelaku berasal dari suku Madura, yang berdomisili baik di wilayah Madura maupun di sebagian wilayah Jawa Timur dimana komunitas orang Madura bermukim.

            Carok pada awalnya tak terlepas dari kekayaan ragam mitos dan legenda yang diyakini oleh masyarakat timur. Begitu pula dengan suku Madura yang masih menggemgam erat mitologi yang berkembang secara turun menurun, diantaranya sebuah mitos yang mengatakan, “Etembang pote mata bango’an pote tolang”, (lebih baik mati daripada menanggung malu, red.). Mitos tersebut telah menjadi ujung pangkal budaya kekerasan, carok. Tentu saja perilaku carok tidak akan muncul begitu saja, melainkan ada penyebab yang sangat esensial. Pemicu utama dari budaya carok adalah ketika harga diri dan martabat seseorang terlukai, tercemar ataupun terinjak-injak. Walaupun bersifat subyektif martabat dan harga diri dijunjung demikian tinggi, terutama bila dikaitkan dengan masalah wanita maupun persoalan-persoalan yang menyangkut ketersinggungan harga diri seseorang.

            Dengan demikian budaya carok yang berkembang dan dianut oleh masyarakat Madura tradisional, merupakan warisan budaya yang menganjurkan seseorang untuk membunuh apabila harga dirinya dilecehkan. Mitos tersebut dikaitkan dengan runtutan sejarah (Islam) tentang peristiwa pembunuhan pertama yang dilakukan oleh umat manusia, yaitu perkelahian antara Khabil dan Qabil yang berkaitan erat dengan persoalan wanita. Dalam tradisi Madura, wanita (istri) bagi laki-laki (suami) merupakan pundi-pundi emas, yang harus dirawat dan dijaga dengan baik. Apabila ada gangguan dari luar, maka sang suami (yang dimitoskan sebagai laki-laki jantan), harus bertanggungjawab atas kejantanannya. Salah satu bukti nyata dari nilai kejantanan tersebut adalah melindungi keamanan istri walaupun harus diselesaikan dengan carok.

            Carok merupakan manifestasi tanggung jawab laki-laki terhadap istri dan sanak keluarga. Sehingga persoalan kalah dan menang bukanlah satu-satunya tujuan, yang terpenting adalah menuntaskan persoalan harga diri yang terinjak-injak dan dilecehkan. Penuntasan melalui carok merupakan bentuk nyata tanggungjawabnya sebagai laki-laki jantan. Apabila menang dalam pertarungan tersebut, bukan berarti persoalan selesai karena harus siap menerima balasan yang sama dari pihak keluarga korban yang kalah. Dan apabila kalah maka “perjuangan” dendam kesumat tersebut akan diwariskan dan diteruskan kepada sanak keluarganya.

            Peristiwa carok merupakan suatu pembunuhan yang sangat keji dan sadis yang diatasnamakan untuk mempertahankan harga diri yang tercabik. Kekejaman, kekejian, dan kesadisan dapat dilihat dari kondisi korban carok. Tubuh para korban penuh luka bacokan, bahkan terkadang terpotong-potong sampai beberapa bagian. Kalau pada awalnya tragedi carok dipicu oleh sesuatu yang esensial dan prinsipil, namun lambat laun persoalan “martabat dan harga diri” bergeser pada persoalan-persoalan sepele dan kecil, seperti perbedaan dari tiap personal (pribadi) yang mampu menjadi pemicu carok, misalnya melanggar kesopanan, persoalan anak-anak, penghinaan dan persoalan-persoalan kecil yang mampu membakar emosi.

            Dalam perkembangannya budaya carok lambat laun mulai terkikis dari masyarakat tradisional Madura. Hal itu disebabkan oleh gesekan dengan budaya yang datang dari luar Madura disamping akses pendidikan  yang telah memasuki sendi-sendi  kehidupan. Rasionalitas berfikir pragmatis untung rugi carok telah menjadi  penyebab menipisnya budaya Carok. Carok bukan lagi sebuah kebanggaan mempertahankan harga diri, karena harus dibayar mahal dengan tergadainya badan ke bui. Di samping itu telah terjadi pergeseran nilai carok itu sendiri, misalnya sang istri diganggu ataupun sengaja ber-selingkuh maka jarang terjadi sang suami mengangkat celurit (sebagai senjata) untuk membabat sang pengganggu.

            Dengan demikian budaya Carok sebagai warisan lama lambat laun akan punah, apalagi senjata yang biasa di pakai untuk carok, yaitu celurit telah berubah fungsi menjadi Celurit Emas. Image inilah yang secara terus-menerus didengungkan dan dikumandangkan oleh D. Zawawi Imron, penyair dan budayawan Madura untuk menepis sekaligus menghapus image orang Madura yang senantiasa digambarkan sosok yang keras, angkuh, egois, kumuh, bromocorah, masyarakat pinggiran  dengan aksen kental logat Madura  yang amburadul. Padahal sosok yang senantiasa digambarkan dalam tayangan Televisi, jauh panggang dari api.

            Akses informasi global juga memberikan andil yang besar  punahnya budaya lama carok. Saat ini budaya carok hanya menjadi semacam dongeng dari kilasan-kilasan kenangan lama generasi tua yang pernah menyaksikan kekerasan, kekejian, dan kesadisan akibat carok. Carok hanya tinggal kenangan, kenangan hitam dari sifat egois anak manusia dalam upaya mempertahankan martabat dan harga diri.