Surat – Surat Kartini

Oleh  :  El Er Iemawati

Setiap tahun dalam bulan April, senandung sahdu lagu yang memuja Kartini berkumandang. Lagu-lagu pujian yang ditujukan pada ibu Kartini adalah sebuah ungkapan  rasa terima kasih dari wanita Indonesia, sehingga setiap tahun bertepatan dengan hari lahirnya, wanita Indonesia menyempatkan diri untuk memperingatinya. Mengenang sosok wanita yang telah menorehkan tinta emas dalam sejarah, seorang pahlawan kemerdekaan Nasional yang telah menanamkan saham sedemikian besar terhadap kemajuan kaum wanita.

Ibu kita Kartini, nama itu tentu tidak asing lagi. Walaupun beliau hidup sangat singkat, namun pemikiran-pemikirannya mampu menembus dimensi ruang dan waktu  sedemikian jauh. Cakrawala berfikir nya, telah mampu menumbuhkan semangat kaum wanita Indonesia, untuk memperjuangkan hak-haknya. Sehingga gerakan emansipasi yang beliau cetuskan, telah mengangkat harkat, martabat dan derajat  kaum wanita pada posisi yang lebih baik dan tinggi.
Dalam buku referensi tentang Kartini, beliau dilahirkan di kota Jepara pada tanggal 21 April 1879. Dilahirkan sebagai anak Bupati, dan beliau kawin dengan seorang Bupati pula. Dan beliau meninggal sebagai seorang istri Bupati, dengan umur yang masih sangat muda, 25 tahun, setelah melahirkan anak pertama.

Dalam waktu yang sangat singkat tersebut  tentu timbul satu pertanyaan. Keistimewaan apakah yang dimiliki oleh Kartini ? Apabila dibandingkan dengan pahlawan-pahlawan wanita lainnya ? Karena sesungguhnya, Kartini tidak pernah memanggul senjata dan memimpin pasukan gerilyawati untuk melawan tentara kolonial ?. Beliau pun bukan meninggal di medan pertempuran yang dahsyat ! Beliau meninggal seperti kebanyakan kaum wanita pada masa itu. Disinilah letak keistimewaan Kartini, penghargaan yang diberikan adalah cita-citanya sehubungan dengan nasib kaum wanita Indonesia. Cita-cita, buah pikirannya yang terkandung dalam kalbu, semuanya  terangkum dalam surat-suratnya yang ditujukan pada beberapa sahabatnya. setelah itu surat-surat tersebut dikumpulkan dan dirangkum dalam sebuah buku. Dengan berlabel judul, “ Habis Gelap Terbitlah Terang”.


Kartini dan Pendidikan

Sosok Kartini adalah pejuang yang menginginkan kesamaan hak, status bagi wanita lewat pendidikan, bukan jalur politik. Karena dalam isi suratnya, Kartini seringkali menyentuh perlunya memberikan kesempatan  untuk mendapatkan pendidikan lebih baik bagi wanita. Karena pada jaman itu, wanita masih dianggap tidak perlu menuntut pendidikan. Di bawah ini kutipan surat Kartini ;

Siapakah yang akan menyangkal bahwa wanita memegang peranan penting dalam hal pendidikan moral dalam masyarakat. Dialah orang yang sangat tepat pada tempatnya, ia dapat menyumbang banyak (atau boleh dikatakan terbanyak) untuk meninggikan taraf moral masyarakat. Alam sendiri-lah yang memberikan tugas itu kepada-nya.

Sebagai seorang ibu, wanita merupakan pengajar dan pendidik yang pertama. Dalam pangkuannyalah seorang anak pertama-tama belajar merasa, berfikir dan berbicara; dan dalam banyak hal pendidikan pertama ini mempunyai arti yang sangat besar bagi seluruh hidup anak.

Tangan ibu lah yang dapat meletakkan dalam hati sanubari manusia unsur pertama kebaikan atau kejahatan, yang nantinya akan sangat berarti dan berpengaruh pada kehidupan selanjutnya. Tidak begitu saja kebaikan ataupun kejahatan itu diminum bersama susu ibu. Dan bagaimanakah ibu Jawa dapat mendidik anak kalau ia sendiri tidak ber-pendidikan ?”

Di sini jelas-lah betapa Kartini sangat menghargai pendidikan dan pentingnya peranan  kaum wanita dalam  hal pendidikan moral dan perletakan dasar watak dan kepribadian anak didik. Pendidikan harus dimulai sedini mungkin, dan ini mesti harus dilakukan oleh seorang ibu. Jelas-lah kiranya melalui pendidikan kaum wanita, Kartini ingin menjangkau tujuan yang lebih jauh, ialah pendidikan watak seluruh anak bangsa. Dalam hal ini pemikiran Kartini, sangatlah sinkron dengan Tri pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan asas pendidikan sepanjang hayat. Yaitu sinkronisasi antara ketiga pusat pendidikan, yakni lingkungan keluarga, lingkungan perguruan  dan lingkungan masyarakat. Berikut kutipan-nya :

“Hanya sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat. Lingkungan keluarga (orang tua) harus membantu juga. Malahan lebih-lebih  dari lingkungan keluarga-lah yang seharusnya datang kekuatan mendidik. Ingatlah ! keluarga (orang tua) dapat memberikan pengaruhnya siang malam, sedang sekolah hanya beberapa jam saja”.


Inspirasi Kartini di Kalangan Muslimat

Pada masa itu, bukan hanya Kartini saja yang tersiksa oleh kungkungan adat yang membelenggu kebebasannya. Tapi juga dirasakan oleh jutaan wanita muslimat Indonesia. Kaum wanita muslimat pada waktu itu mengalami nasib serupa, di kurung dan dipingit, tidak boleh belajar, mereka bodoh baik di waktu gadis maupun sesudah menikah. Bisikan kalbu Kartini  berkumandang dan meng-ilhami gerak langkah perjuangan wanita bangsa-nya, di mana wanita muslimat merupakan golongan terbanyak. Tak dapat di sangkal, banyak derita yang menggugah aspirasi Kartini. Karena Kartini adalah gadis Islam yang juga memprotes ketidak-adilan, kebekuan dan ketidak-terbukaan ajaran Islam pada waktu itu.

Betapa hatinya tidak dapat menerima pengajian Al-Qur’an yang ia tidak tahu maksud dan maknanya, begitu juga ibadah-ibadah lain yang tak dimengerti tujuan dan penafsirannya. Tetapi, beliau adalah seorang Islam  yang taat, bahkan menyerukan agar Al-Qur’an diterjemahkan dalam bahasa ibunya, supaya dimengerti oleh masyarakat banyak. Karena pada waktu itu agama yang dianut para bangsawan adalah agama yang diwarisi dari nenek moyang, yang pada kenyataannya belum dikhayati dan dimengerti hakekat ajarannya yang benar, bahkan banyak bercampur-baur dengan tradisi sebelum Islam.

Dalam salah satu suratnya, yang ditujukan kepada Stella, Kartini menulis :

“Mengenai agama Islam, Stella tiada boleh kuceritakan. Agama Islam melarang umatnya untuk mempercakapkannya dengan umat agama lain. Lagi pula, sebenarnya agama-ku Islam hanya karena nenek moyang-ku Islam. Manakah dapat aku cinta akan agama-ku, kalau aku tiada kenal, tiada boleh mengenalnya. Al-Qur’an terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa mana jua pun. Disini tidak ada orang tahu bahasa Arab. Orang disini membaca Al-Qur’an tetapi yang dibacanya itu tiada ia mengerti. Pikiran-ku, pekerjaan gilakah semacam itu, orang disini diajar membaca, tetapi tiada diajarkan makna  yang dibacanya itu. Sama saja engkau mengajar aku kitab bahasa Inggris, aku harus hafal semuanya, sedangkan tiada sepatah kata jua pun yang engkau terangkan artinya kepada-ku”.

Demikianlah Kartini menggugat jamannya yang gelap dan bodoh pada ajaran agama-nya. Gugatan Kartini itu mendengung dan berkumandang  di lambang dan gunung tanah airnya. Dapatlah dimengerti kalau Kartini tidak penuh pengertiannya tentang Islam, karena gerakan pembaharuan dalam Islam di Indonesia baru menghangat setelah Kartini wafat. Yaitu pada tahun 1905, KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, masuk jamiat Khair dan menjadi anggota Syariat Islam. Sehingga gerakan pembaharuan yang sangat didambakannya, tidak dapat dinikmatinya.

Surat-surat Kartini yang menggambarkan rintihan derita hatinya melihat penderitaan dan kesengsaraan  wanita bangsanya, baik dalam hal kehidupan sehari-hari yang miskin dan merana, baik dalam hal keagamaan sampai masalah poligami, kawin ceria tanpa tanggung jawab, di tulis dan ditujukan pada Stella, tertanggal, 23 Agustus 1900, sebagai berikut ;

Jalan kehidupan gadis Jawa itu sudah dibatasi dan diatur menurut pola tertentu. Kami tidak boleh mempunyai cita-cita. Satu-satunya impian yang boleh kami kandung ialah, hari ini atau besok dijadikan istri yang kesekian dari seorang pria. Saya tantang siapa yang dapat membantah ini. Dalam masyarakat Jawa persetujuan pihak wanita tidak perlu. Ia juga tidak perlu hadir pada upacara akad nikah. Ayahku  misalnya, bisa saja hari ini memberitahu kepadaku ; Kau sudah kawin dengan si anu, lalu aku harus ikut saja dengan suamiku. Atau aku bisa saja menolak, tetapi ini malahan memberi hak kepada suamiku untuk mengikat aku seumur hidup tanpa sesuatu kewajiban lagi terhadapmu. Aku akan tetap istrinya, juga jika aku tidak mau ikut. Jika ia tidak mau menceraikan aku, aku terikat kepadanya seumur hidup. Sedang ia sendiri bebas untuk berbuat apa saja terhadap aku. Ia boleh mengambil beberapa istri lagi jika ia mau tanpa menanyakan pendapatku. Dapatkah ini dipertahankan Stella ?”.

Demikianlah rintihan kalbu Kartini yang juga beriak beralun  dalam lubuk hati semua wanita Indonesia, terutama wanita muslimat mengenai perkawinan dan poligami serta kebebasan menuntut ilmu. Jeritan itulah yang mendorong wanita bergerak maju mengejar dan mencapai  perubahan nasib. Walaupun rintihan  Kartini bukan satu-satunya penyebab yang menggugah semangat pembaharuan pada wanita muslimat, tetapi ide serta gagasan yang lahir dari kalbu Kartini adalah merupakan estafet perjuangan wanita dari masa ke masa.


Kartini Sang Pelopor

Awal tahun 1903 Kartini menyusun nota untuk Kementerian jajahan Belanda, yang berupa tanggapannya atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan  oleh Kementerian itu. Kalangan pemerintahan tinggi Belanda sudah mengakui Kartini  sebagai ahli pikir modern, sehingga perlu untuk dimintai pendapat tentang cara memperbaharui  sistem pendidikan dan keadaan sosial politik di negeri jajahan Belanda.

Kritik pedas yang dilontarkan Kartini pada waktu itu adalah, bahwa rakyat tidak dapat menarik keuntungan dan manfaat dari sistem yang ada. Karena waktu itu yang dipentingkan hanyalah menjaga keamanan negara dan bagaimana cara memasukkan penghasilan yang teratur untuk negara. Negara dan kaum ningrat yang memetik hasilnya. Rakyat tidak. Kritik yang dilancarkan Kartini, sebagai berikut ;

“Apa gunanya kaum ningrat yang dijunjung tinggi itu bagi rakyat, kalau mereka dipergunakan oleh pemerintah untuk memerintah rakyat ? Sampai sekarang tidak ada, atau sangat sedikit, yang menguntungkan bagi rakyat. Lebih banyak merugikan kalau kaum ningrat menyalahgunakan kekuasannya. Kaum ningrat harus pantas (berlaku pantas?)untuk bisa dijadikan pujaan rakyat, sehingga akan banyak manfaatnya untuk rakyat. Pemerintah harus membawa kaum ningrat ke arah itu. Dan satu-satunya jalan ialah memberi pendidikan watak yang mantab, yang tidak semata-mata didasarkan  pada pengembangan intelektual, melainkan terutama  pada pembinaan watak …. Banyak sekali contoh yang membuktikan bahwa tingkat kecerdasan otak yang tinggi sama sekali  bukan jaminan akan adanya keagungan moral”.

Kartini juga mengemukakan pentingnya peranan wanita dalam membina watak bangsa, yang menurut pendapatnya harus didahulukan dari pendidikan lain-lainnya. Dan pemegang pertama pemeran itu adalah ibu. Karena dipangkuan ibu-lah anak belajar merasakan, berfikir dan berbicara. Dan pendidikan masa kecil itulah yang menentukan kehidupan selanjutnya. Untuk itulah Kartini  menginginkan agar putra-putri bangsawan  di bina menjadi ibu-ibu yang pandai, cakap dan sopan. Mereka itu kemudian yang diharapkan akan menyebarkan  kebudayaan kepada rakyat. Anak-anak mereka yang dibina akan menjadi panutan, menjadi pejabat yang cinta kepada rakyat dan berguna bagi masyarakat. Dalam suratnya, beliau menulis ;

“Karena saya yakin sedalam-dalamnya bahwa wanita dapat memberi pengaruh besar kepada masyarakat. Maka tidak ada yang lebih saya inginkan daripada menjadi guru, supaya kelak dapat mendidik gadis-gadis daripada pejabat tinggi kita. O, saya ingin sekali  menuntun anak-anak itu, membentuk watak mereka, mengembangkan pikiran mereka yang muda, membina mereka menjadi  wanita masa depan, supaya mereka kelak dapat meneruskan segala yang baik itu. Masyarakat kita pasti akan bahagia, kalau wanita-wanita mendapat pendidikan yang baik......”.

Demikianlah pemikiran Kartini, diketuklah hati orang-orang yang ber-pendidikan, ningrat-ningrat jaman lampau dan ningrat-ningrat jaman sekarang, pria maupun wanita untuk mendengarkan seruan kewajiban  menjadi contoh serta panutan bagi rakyat. Sehingga terbentuk-lah suatu tatanan yang mapan, harmonis dan ideal dalam masyarakat. Dalam tataran yang lebih luas, akan terbentuk  masyarakat yang demokratis dan masyarakat madani.

Dalam kurun waktu yang sangat panjang, setelah beliau menghembuskan nafas terakhir, perjalanan dalam mengadopsi cita-cita Kartini  masih jauh dari harapan sang pelopor. Karena yang terjadi saat ini, emansipasi luhur yang didengungkan sebagian telah melenceng dari rel. Banyak sekali wanita Indonesia terkontaminasi  oleh gerakan feminisme barat, mengadopsi budaya serta pola hidup gaya barat. Hal tersebut tidak dapat dihindarkan lagi, karena demikian gencar dan derasnya arus informasi di era globalisasi  memasuki sendi-sendi kehidupan.
Tak dapat dipungkiri, perkembangan Sains dan IPTEK telah mengubah tatanan dunia. Satu sisi wanita dihadapkan pada budaya baru yang diimpor dari barat dan satu sisi lainnya wanita Indonesia tidak mempunyai pijakan yang kuat dan kokoh dalam penguasaan ilmu pengetahuan, wawasan serta budaya lokal. Sehingga terjadi kemerosotan moral. Penyakit-penyakit sosial merajalela serta pola hidup konsumtif.

Lebih dari separuh penghuni bumi nusantara adalah kaum wanita. Di pundak mereka kejayaan bangsa ini dipertaruhkan. Namun sayang, peran besar wanita saat ini masih belum menjadi agenda yang sangat penting. Walaupun saat ini, negara Indonesia di pimpin oleh seorang wanita, namun posisi wanita  belum mencapai hasil yang memuaskan. Walaupun tidak dapat dipungkiri, banyak dari kalangan wanita yang telah dapat menduduki pos-pos penting dan strategis, namun masih belum bisa menggambarkan  keberhasilan perjuangan wanita. Karena berjuta-juta wanita lainnya, masih terpuruk dalam dimensi dunia lain, dunia ketidak-tahuan dan kebodohan.

124 tahun yang lalu, Kartini telah memberikan pijakan yang kokoh dan kuat mengenai emansipasi wanita. Yaitu memberikan porsi yang cukup besar pada wanita untuk pendidikannya, memperluas wawasan, menguasai ilmu pengetahuan sehingga wanita mampu mengembangkan kemampuannya. Memiliki serta mencintai akar tradisi, dalam arti budaya lokal akan menjadi benteng yang kokoh untuk pertahanan. Budaya lokal akan menjadi  landasan berpijak untuk melangkah pada percaturan trans-nasional. Sehingga dengan adanya pijakan yang kuat dan kokoh, anak-anak bangsa telah siap untuk berkompetisi pada tataran internasional. Walaupun dalam pola gerak lokal, namun mampu berfikir global.

Pijakan lain yang menjadi prioritas pemikiran Kartini adalah pada pembentukan watak dan moralitas yang tinggi. Karena banyak sekali contoh yang membuktikan, bahwa tingkat kecerdasan otak yang tinggi, belum menjadikan suatu jaminan dalam pembentukan masyarakat yang bermoral dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Pemikiran-pemikiran Kartini yang terangkum dalam surat-suratnya, telah membuktikan sebuah pemikiran yang  jenius dan sangat pro-aktif. Sampai saat ini, cita-cita  kemasyarakatannya untuk pembaharuan masyarakat yang demokratis, yang memberi kedudukan, hak dan kewajiban yang sama kepada sekalian warga masyarakat, tanpa membeda-bedakan jenis kelamin bergulir dan terus-menerus dihembuskan oleh kaum wanita.

Tak salah kiranya, bila wanita Indonesia memberikan penghormatan yang sangat tinggi untuk ibu Kartini, karena Kartini merupakan wanita pilihan, sebagai pelopor kaum wanita sekaligus pahlawan Perintis Kemerdekaan dan pahlawan Nasional. “Beri aku bunga melati, yang mekar di lubuk hati”. (Dari berbagai Sumber).

Sumenep,  Februari 2003