Kilasan Perjalanan Anak Bangsa

Istilah Jas Merah seringkali dilontarkan oleh tokoh-tokoh poliitik dari salah satu partai besar di Indonesia dalam upaya mengingatkan semua komponen anak bangsa akan sebuah nilai yang kini mulai menghilang di memori anak bangsa. JAS MERAH, “Jangan melupakan sejarah” merupakan salah satu ucapan yang sering disitir dan menjadi warisan Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya:.”
Seiring dengan perjalanan waktu, makna “Pahlawan”, yang pada masa pra kemerdekaan adalah sosok yang penuh dengan, “keheroikan, sosok yang gagah berani, mengorbankan jiwa raga, berani mati, lebih baik berkalang tanah daripada di jajah kembali” mulai menemukan bentuk laiin, namun tetap memiliki esensi dan bobot yang sama. Karena pada prinsipnya, perjuangan berat generasi 45 pada masa lampau, sama beratnya dengan perjuangan pasca kemerdekaan yang dipikul  generasi penerus di masa sekarang. Hal itu berkaitan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi pada saat ini, yaitu ekses dari arus globalisasi dan industrialisasi.
Perjuangan berat tersebut disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang dicapai oleh umat manusia di dunia ternyata telah menjadi sebuah fenomena manusia terlepas dari jiwa kemanusiannya. Hal itu dapat dicermati dari proses pendewasaan bangsa Indonesia, yang dalam prosesnya mengalami jatuh bangun, tersungkur dalam keterpurukan, pertikaian antar etnis, ketidaksepahaman yang diakhiri gontok-gontokan, ekspoitasi, keapatisan, kemerosatan nilai-nilai moralitas, penjajahan sosial budaya, dan juga penjajahan ekonomi. Akumulasi permasalahan tersebut menjadi satu, salng tindih, lingkar melingkar. Kata orang Jawa, “mbulet koyo’ susur.”
Angin segar bergulir, anak-anak bangsa mulai melihat sinar cerah, pencerahan. Proses sejarah yang tercatat dalam buku dan terekam dalam memori otak adalah reformasi. Perjuangan para mahasiswa yang turun ke jalan dan di dukung pula oleh para reformis di seluruh negeri mampu membalikkan keadaan. Sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah pada tanggal 1 Januari 2001 lahirlah lingkungan politik baru dalam satu pemerintahan di Indonesia. Daerah yang pada awalnya hanya nrimo titah dari Pusat, kini punya gigi dan taring. Setidaknya, setelah UU No. 22/1999 diberlakukan, ada tiga hal penting yang membawa pembaharuan. Pertama, ada otonomi nyata, luas dan bertanggungjawab yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah/Kota. Kedua, diterapkannya azas dekonsentrasi dan desentralisasi terbatas pada provinsi. Ketiga, ada perubahan signifikan atas kedudukan dan peran DPRD. DPRD tidak lagi bagian dari Pemerintah daerah. Tentunya hal ini membawa konsekwensi tersendiri, misalnya dalam pemilihan kepala daerah, proses pengawasan dan penganggaran daerah. Pendek kata, DPRD lebih berdaya (berkuasa) bila dibandingkan pada masa lalu.
Reformasi telah membawa perubahan yang sangat nyata, pelan tapi pasti daerah-daerah membangun berdasarkan otonomi masing-masing. Setiap daerah berlomba menjadi is the best. Jangan harap orang luar akan memegang (menjadi) pucuk pimpinan di daerah lain, semangat otonomi di masing-masing daerah yang nota bene adalah etnis (suku) pemilik wilayah, akan memilih putra daerah sendiri untuk memimpin mereka. Dis-intregasi bangsa dipertaruhkan, berbondong-bondong para pegawai pulang kampung (pindah) dengan membawa semangat untuk membangun daerahnya sendiri. Apalagi daerahnya adalah daerah surplus, PAD-nya gede, dan DAU-nya juga gede.
Ternyata, desentralisasi belum berdampak banyak terhadap kalangan rakyat, terutama rakyat yang berada di garis kemiskinan. Hidup mereka bukannya bertambah menyenangkan, tetapi memiriskan, memilukan, dan kalang kabut. Prioritas yang selalu digadang-gadang, diobralkan dan dijanjikan untuk mengentaskan kemiskinan sebatas pemerah bibis, lipstik semata. Rakyat belum bisa mengakses kebutuhan dasar dalam hidupnya. Sementara itu gedung-gedung perkantoran di bangun mentereng, jalan-jalan mulus dan tiap tahun di up grade, lampu jalanan pada malam hari berkelap-kelip, menyaingi gemerlapnya bintang di malam pekat.
Penampilan fisik menjadi prioritas utama,  karena untuk menjadi is the best yang paling mudah sebagai indikator keberhasilan adalah bentuk fisik yang nyata dan dapat ditangkap oleh panca indra. Proyek pembangunan fisik menjadi prioritas, dan proyek-proyek tersebut menjadi santapan empuk untuk di mark up, dikadalin dan di korup. Tak mengherankan, negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi menjadi wilayah yang benar-benar empuk, benar-benar menjadi surga,  benar-benar menjadi sarang penyamun, tentunya bagi para pejabat yang bermental korup dan amoral.
Untuk menjadi is the best, segala daya upaya dilakukan oleh semua daerah agar tidak tertinggal oleh daerah lainnya. Sementara itu anak-anak bangsa sebagai aset masa depan bangsa mengalami krisis mentalitas dan moralitas. Surga pornografi telah di trade markkan di negara kita, yang mayoritas muslim. Budaya-budaya luar negeri telah mendapat tempat dan di serap dengan baik, tayangan-tayangan yang tidak mendidik dan merusak moralitas menjadi menu keseharian. Pola hidup konsumtif, wah dan mewah dalam hitungan detik dikonsumsi oleh anak-anak masa depan. Ketika anak-anak tersebut meniru pola dan gaya, budaya  yang menjadi santapan sehari-hari di Televisi, semua hanya mahfum. Inilah dunia anak-anak masa kini, inilah proses jaman, inilah jaman modern. Siapa yang peduli ?
Belum satu generasi pahlawan 45 mewariskan kemerdekaan, bulu roma dibuat merinding, karena para penerima warisan dalam pengelolaan negara plus di era Otonomi Daerah belum menghasilkan Sumber daya Manusia handal. Pendidikan sebagai jembatan emas pembentukan kualitas sumber daya manusia dikelola dengan managemen berbasis komoditas. Ajaran pendidikan moral dan etika secara perlahan ditiadakan, pendidikan kebangsaan, nasionalisme, patriotisme juga sengaja di hapus dan secara perlahan menghilang dalam memori otak dan benak anak-anak masa depan. Akses informasi melalui HP dan internet menjadi lahan subur mennginjeksi budaya barat, menscaning dan mencuci otak anak-anak, membius serta membuai mereka. Ibarat sebuah mata uang yang memiliki dua sisi, sisi negatif dari budaya barat yang kotor lebih mudah terakses dan terekam. Sesuai dengan jiwa muda yang penuh petualangan, akses situs porno lebih banyak mereka konsumsi. Siapa yang peduli dan mampu menangkalnya ?
Siapa yang peduli ? Budaya individualistik mengajarkan aku, aku, kamu, kamu. Kilasan kenangan tentang budaya guyub, budaya komunal, budaya saling mengingatkan, budaya lisan yang penuh kaya makna, adluhung, pelan tapi pasti mulai terhapus dan tercerabut dari akarnya. Siapa yang salah ?  Siapa yang alpa ? Siapa yang salah dan alpa ? Pertanyaan ini menggaung, memantul-mantul dan bergema ke seluruh pelosok negeri.
Untuk menjawab tanya siapa yang salah dan alpa, hanya akan terjawab ketika semua anak bangsa mau merendahkan hati berpaling dalam sanubari masing-masing. Para pejabat di semua lingkungan institusi, para pengajar mulai dari TK nol kecil sampai profesor,  para babu sampai majikan, para lomglomerat sampai buruh, politisi, budayawan, rohaniawan, agamawan, para pemimpin formal dan informal untuk bisa menjadi pemimpin sejati. Pemimpin sejati bukanlah sosok karismatik yang dielu-elukan, pemimpin sejati bukanlah sosok yang dikultuskan serta mempunyai jutaan penggemar. Tetapi pemimpin yang benar-benar sejati, adalah pemimpin yang mampu memimpin diri sendiri, mampu menjadi teladan bagi diri sendiri. Karena dalam spiritual Islam disampaikan, “Setiap orang dari kamu adalah pemimpin, dan kamu bertanggungjawab terhadap kepemimpinan itu” (Al-Hadist, H.R. Tirmidzi, Abu Dawud, Shahih Bukhari dan Muslim).
Tugas memproduksi pemimpin secara riil ada di tangan pendidikan, dan anak-anak bangsa merupakan aset masa depan. Sangatlah naif kalau aset masa depan tersebut jatuh terpuruk, tersungkur karena kealpaan, kesalahan dan kenaifan. Sudah waktunya tidak perlu menudingkan telunjuk, mencari kambing hitam kesalahan. Sudah waktunya bangkit bersama, merapatkan barisan dan meneyelamatkan aset bangsa dalam sebuah sistem yang terpadu. Sudah waktunya menanamkan kembali nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai moralitas, nilai-nilai humanisme, nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air serta mengenalkan kembali budaya pantang menyerah, budaya kerja keras, budaya cinta ilmu.
Sudah waktunya bersama-sama merefleksi diri, mensyukuri nikmat dan berterima kasih kepada generasi 45 yang telah mewariskan kekayaan yang tak ada bandingannya, yaitu sebuah kemerdekaan. Walaupun secara penuh dan utuh kemerdekaan itu belum tergenggam di tangan, setidaknya perjuangan panjang dalam memperjuangkan hakekat kemerdekaan yang meliputi memperjuangkan hak-hak rakyat, merdeka politik, merdeka ekonomi dan sosial budaya, merdeka dari penjajahan global mempunyai ruh. Tugas itu merupakan tanggungjawab bersama yang wajib di pikul oleh semua anak bangsa.
Terimakasih pahlawan, terima kasih.