Menanamkan Kecintaan Batik Melalui Pameran

 Motif kain sebagai salah satu pengejawantahan seni rupa – Madura diwakili oleh karya penenun tradisional serta oleh batik. Kain tenun Madura dulu antara lain diproduksi di desa Gersik Putih (Sumenep) sebagai kegiatan ibu-ibu yang berindustri rumah tangga. Tenun itu menonjol memakai benang putih yang banyak, serta keberanian memadukan warna mencolok yang tidak lazim dalam kotak-kotak yang besar. Rancangan sering terlihat khas sekali karena dengan berani mereka menampilkan hewan seperti ayam dan burung serta udang dan binatang laut lain dalam ukuran yang besar-besar. Mereka juga tidak sungkan menyuguhkan suluran-suluran tetumbuhan termasuk paku-pakuan yang terkesan bersimpang siur karena menjalar kemana-mana.
Kegemaran pembatik Madura pada warna soga yang kemerahan sehingga terkesan norak sangatlah kesohor. Selain itu kemaduraannya semakin tertonjolkan oleh ketidaktakutannya menyentuhkan warna mencolok sebagai aksentuasi.  Oleh karena itu, dapat disaksikan sekuntum bunga jingga bertengger di atas latar dedaunan berwarna tengguli gelap, atau udang biru jelak, serta bintang laut merah api berenang dalam air segara berwarna cokelat kekuningan.
Baik dengan motif yang berstruktur memberi kesempatan pada pelukis Madura untuk menampilkan karya kreatif. Lukisan  batik yang dihasilkan terkesan dilakukan terburu-buru dan kasar, serta tidak rapi sehingga menghasilkan karya bergaya primitif yang unik. Namun pada perkembangannya batik  yang bermotif tradisional tersebut mengalami modifikasi dengan motif-motif baru yang sesuai dengan perkembangan serta permintaan pasar tanpa meninggalkan mnotif-motif lama sebagai dasar. Motif dasar yaitu bermacam-macam unggas untuk motif pria, dan bunga untuk motif wanita. Hal itu dipaparkan oleh Bp. Ach. Zaini, salah seorang pembatik yang menggeluti perbatikan sebagai generasi kedua di desa Pakandangan Barat, Bluto.
Lebih jauh Zaini menuturkan, sejarah batik Madura dimulai sejak tahun 1917. Pada umumnya orang-orang tua di desa Pakandangan Barat pada waktu itu memiliki ketrampilan membatik, baik untuk batik kasar maupun baik halus. Namun pada tahun 1960-an home industri batik di desa itu gulung tikar semua, hal itu disebabkan oleh penurunan mata uang rupiah, uang 1.000 rupiah menjadi 1 rupiah. Pada tahun 1970 kegiatan membatik bangkit kembali, pada masa itu Pemerintah Daerah melalui Dinas Perindustrian turun tangan dengan memberikan pelatihan kepada pembatik. Tidaklah mengherankan kalau batik terus berkembang, dan desa Pakandangan Barat, Bluto menjadi salah satu sentra industri batik Madura di Sumenep, dengan jumlah kurang lebih 200 pembatik.
Menurut Zaini, batik tulis Sumenep telah menjadi produk andalan yang sangat disukai oleh turis manca negara, terutama yang dari Australia. Untuk produknya penjualan yang paling tinggi adalah batik tulis halus, yang termurah dengan harga 350.000 rupiah/lembar untuk pembuatan batik dengan menggunakan pewarna buatan, sedangkan untuk batik yang menggunakan pewarna alami memasang harga 450.000 rupiah/lembar. Bahkan ia pernah mendapat pesanan kain sampir dengan motif Terang Bulan seharga 1 juta rupiah. Di rumahnya ada 35 pekerja pembatik yang berasal dari sekitar rumah, dengan demikian pembeli yang datang bisa langsung menyaksikan cara membatik juga leluasa memilih batik-batik yang diinginkan. Sentra batik miliknya, “Batik Melati” sering kedatangan tamu-tamu pejabat, baik yang berasal dari Madura maupun luar Madura. Bahkan ia sering mendapat pesanan dalam jumlah yang banyak untuk penyediaan seragam batik, baik dari organisasi sosial, organisasi politik maupun dari kantor-kantor pemerintahan.
Pada tahun 2007, tepatnya tanggal 4 s/d 8 April 2007 di JCC (Jakarta Convention Center) home industri batik Melati ditugaskan sebagai duta untuk mengikuti pameran di Jakarta. Pada waktu itu bersama produk ukiran kayu dari Karduluk mengikuti acara pameran yang bertajuk, “SMESCO FESTIFAL 2007 EXHIBITION”. Pameran itu yang keempat kalinya, kerjasama Bidang Usaha dengan PKM, dan diikuti oleh industri-industri kecil se Indonesia. Menurutnya, acara pameran itu sangat mengesanakan, karena demikian tinggi antusias dan apresiasi masyarakat Jakarta pada stand Madura.
Di akhir perbincangan Zaini mewakili sejumlah pembatik lainnya mengharapkan Pemerintah Kabupaetn untuk lebih memperhatikan keberadaan batik Madura. Di samping itu membangkitkan apresiasi tentang batik Madura dengan secara rutin mengadakan acara pameran, baik secara lokal maupun event-event yang lebih besar lagi. Dengan adanya pameran-pameran itu maka kecintaan masyarakat terhadap produk lokal  semakin tertanam. Kecintaan itu juga perlu ditanamkan kepada generasi muda dengan cara memasukkan pelajaran membatik sebagai pelajaran tambahan  muatan lokal di sekolah-sekolah. (El Iemawati)