Nyi Suratmi Sosok Seniwati yang Terlupakan



Slopeng terkenal bukan hanya keindahan  pantai serta keunikan dan ke-spesifikan gunung-gunung pasir, melainkan juga sebagai salah satu kantong budaya tradisional. Konon pada jaman era kerajaan di salah satu kampung yang bernama kampung Panelen, wilayah tersebut  merupakan sebuah perkampungan seni. Sehingga tidaklah mengherankan, apabila sampai saat ini penduduk Slopeng masih sangat kuat mencintai serta melestarikan budaya tradisional.
Di kampung Tajjan, desa Slopeng masih dapat kita temui seorang pesinden yang pernah  menikmati sisa-sisa kejayaan jaman kerajaan.. Walaupun usianya sangat uzur, Nyi Suratmi masih mampu secara jelas dan gamblang menceritakan kondisi masa lalu terutama kaitannya dengan dunia seni. Secara rinci, beliau menuturkan pengalamannya kepada Info Sinden ataupun penari keraton ketika saya masih muda, adalah sebuah profesi yang sangat dihormati dan membanggakan. Apalagi bisa menembang atau menari di keraton, di tonton langsung ajunan Rato dan keluarga”, ujarnya penuh kebanggaan.
Secara terperinci Nyi Suratmi menjelaskan bahwa, penari ataupun pesinden pada waktu itu sangat dihormati. Setiap mengadakan pementasan baik di kalangan keraton ataupun masyarakat  kebanyakan, disiplin sangat dijunjung tinggi. Penonton laki-laki berada di depan pentas, sedangkan penonton wanita berada di serambi rumah. Adapun uang yang dikirimkan oleh penonton untuk pesinden, dimasukkan ke dalam kantong yang diedarkan secara keliling oleh petugas khusus. Setelah pementasan selesai, uang dalam kantong tersebut diangkat tinggi-tinggi dan ditumpahkan pada sebuah talam sehingga menimbulkan bunyi gemerincing. Barulah hasil perolehan itu dihitung.
“Tidak seperti jaman sekarang, terkadang uang diselipkan langsung di balik kutang ataupun secara langsung diberikan lewat bibir”, ujar Nyi Suratmi prihatin. Lebih jauh beliau bertutur, ”Pada masa dulu, adalah sebuah aib apabila seorang laki-laki mendekati sinden apalagi sampai menggodanya di depan umum. Karena tarian atau tembang yang di kidungkan, adalah ungkapan perasaan indah terhadap Allah Taala, junjungan Nabi serta rasa hormat kepada junjungan Ratu”.
Di samping itu setiap pementasan senantiasa diawali oleh puji-pujian kepada Sang Maha Pencipta Keindahan, kemudian tembang tersebut hanya digunakan sebagai alat pengungkap perasaan indah. Sehingga kesenian benar-benar berfungsi sebagai media yang mampu menghanyutkan perasaan penonton untuk merenung akan kebesaran serta keindahan Sang Pencipta. Syair-syair dari tembang banyak berisi permohonan kepada Dzat Pencipta ataupun berisi nasehat tentang kemuliaan budi pekerti.
Menurut Nyi Suratmi, saat ini masyarakat tidak peduli lagi pada kesenian tradisional. Hal itu dapat diamati dari banyaknya seni tradisional yang punah. Salah satunya adalah tari tradisional Dupplang. Tari ini adalah penggambaran jalinan cerita tentang sejenis ubi yang memabukkan, yaitu gaddung. Dalam tarian ini menggambarkan dari proses awal penanaman, pemupukan, panen, penjemuran, pengolahan sampai pada tahap memakan dan akhirnya mabuk. Tarian tersebut diciptakan oleh Nyi Raisa seorang sinden dan penari keraton, Nyi Raisa adalah nenek dari Nyi Suratmi.
“Tarian ini sangat sulit dan menguras energi, sehingga jarang sekali ditampilkan. Kalau mementaskan tarian ini, saya mendapatkan uang sekitar 20 rupiah, yang paling banyak adalah persenannya,  bisa mencapai 10.000 rupiah”, ujar Nyi Suratmi tersenyum mengingat masa lalunya. Tarian ini dibawakan oleh dua penari, waktu itu Nyi Suratmi didampingi oleh Mas’riah atau Juriah. Menurut Nyi Suratmi, dirinya adalah generasi terakhir yang mampu membawakan jenis tarian ini.
Sejak pergantian Raja ke Bupati, Nyi Suratmi meninggalkan lingkungan keraton kembali ke daerah asalnya di Slopeng, Dasuk. Dan otomatis pula, tarian Dupplang tersebut tidak pernah dipentaskan lagi. ”Sayang sekali tarian ini akan punah, karena dalam kondisi seperti ini, saya tidak mampu untuk mewariskannya”.
Sebagai seorang penari dan pesinden yang terkenal dijamannya, Nyi Suratmi pernah tampil di keraton Yogjakarta dan keraton Solo serta mengunjungi berbagai daerah di Jawa Timur. Dan oleh salah seorang pemujanya yaitu Aryo Sudibying Projo seorang Pegawai Perum Garam, Nyi Suratmi diboyong ke dalam lingkungan keraton. Namun jalinan kisah kasih tersebut berakhir dengan kenangan duka panjang, karena sang suami tercinta meninggalkannya. Aryo Sudibying Projo, menghembuskan nafas terakhir secara tragis, di tembak oleh Jepang.
“Semua alat musik yang ada di rumah ini, satu persatu saya jual”, cerita Nyi Suratmi  tentang seperangkat gamelan kebanggaannya, “Gamelan itu selalu membuat saya sedih dan berduka, karena saya selalu mengingat kangmas Aryo”.
Di usianya yang ke-110 tahun, Nyi Suratmi terus bergelut menapaki hidup di rumahnya yang sederhana. Sosok kecil mungil ini masih sangat antusias apabila membicarakan kesenian. Karena menurutnya, saat ini kesenian telah berubah fungsi, saat ini kesenian hanya dijadikan alat untuk memuaskan nafsu keduniawian semata. Kesenian tidak lagi digunakan untuk memanusia-kan manusia.