Pola Paternalistik Masih Kuat

Menurut Bapak kendala semacam itu disebabkan oleh apa ? Cara berfikir, wawasan, wacana masyarakat atau paternalistic yang masih sangat kuat ?
Apa yang ibu sampaikan dari sekian instrumen tadi memang benar semuanya, saya katakan paternalis memang tidak bisa dihilangkan karena paternalis ini  merupakan suatu dogma kepada masyarakat yang tidak bisa dihilangkan. Siapapun yang akan memimpin, yang namanya paternalis ini akan terbawa, apakah itu seorang kyai, apakah itu seorang birokrat, apakah itu seorang profesional. Itu akan terbawa yang namanya paternalis. Paternalis sebetulnya baik, dan itu sebetulnya satu aset yang bisa kita kembangkan, kita manfaatkan untuk menggali satu potensi masyarakat bisa bekerja bersama-sama, untuk mengajak masyarakat bersama-sama itu lebih mudah, ketimbang mereka yang pemikirannya lebih moderat dan demokratis.
Saya yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan paternalis, mempunyai sebuah pemikiran bahwa paternalis bisa dikembangkan asalkan sang pemimpin itu betul-betul bisa melihat, bisa memanfaatkan, bisa mengembangbiakkan secara proporsional, artinya, jangan dengan sifat paternalis dijadikan alat untuk menyombongkan diri sehingga terjadi kultus. Nah, dari kultus ini akan berbalik menjadi kelemahan bagi masyarakat itu sendiri.
Atau barangkali kita masih belum punya figur pemimpin yang ideal ?
Figur itu banyak, apakah itu dari kalangan birokrasi, apakah itu dari kalangan kyai, apakah itu dari kalangan politisi, apakah itu dari kalangan pedagang. Sebenarnya  banyak sosok yang mampu ditampilkan. Masalahnya sekarang kita tidak menemukan sosok pemimpin yang ideal, dari dulu sampai sekarang yang begitu-begitu saja, artinya style ya semacam itu. Sekarang bedanya kan hanya otonomisasi, dalam otonomisasi pola kepemimpinan yang kita rasakan sama dengan yang dulu-dulu. Dan ini yang meresahkan masyarakat, sejak otonomisasi pemimpin menjadi arogan,  katanya orang Madura , “apa ca’na engko sateya.” Artinya pihak tingkat I maupun Pusat tidak bisa intervensi, nah pola-pola semacam ini seharusnya diubah  oleh pemimpin-pemimpin, siapapun yang akan memimpin Sumenep.
Terus kedepannya bagaimana ?
Ke depan tidak bisa kita prediksi, Cuma saya melihat banyak potensi Sumber Daya alam yang sampai detik ini pengelolaannya masih per kelompok=kelompok tanpa adanya satu pembinaan yang betul-betul  solid. Contoh kenapa krupuk Palembang bisa menjajah Sumenep, tapi kenapa produk-produk dari Sumenep tidak bisa menjajah seperti krupuk Palembang ? Nah, pola-pola semacam ini kan perlu adanya satu pembinaan-pembinaan, padahal ada Dinas Perikanan dan Kelautan yang merupakan satu aset . Seharusnya Pemkab memberikan satu perlakuan khusus pada bidang kelautan dan perikanan, karena 2/3 luas Sumenep itu adalah lautan, dan luas semacam itu kalau dikelola secara profesional ditambah pula oleh tersedianya SDM yang banyak maka kita akan mampu menggerakkannya.

Tentu saja untuk menyamakan persepsi pelaku-pelaku, elit-elit di Pemkab Sumenep ini masih sulit. Sulitnya disini karena berbeda pandangan, berbeda kepentingan, berbeda visi. Seharusnya perbedaan-perbedaan tersebut ditinggalkan sehingga kinerja Pemkab ini terhadap masyarakat benar-benar dirasakan. Untuk ke depan saya harapkan Pemkab mampu memberikan satu kesejukan kepada masyarakat. Pemkab dalam hal ini, “seorang Bupati” harus mampu memberikan satu kesejukan kepada semua masyarakat di Sumenep. Dalam hal ini hendaknya tidak memberikan batasan dengan sistem protokoler sehingga mudah ditemui oleh siapapun dan dari kalangan manapun. Dengan tanpa adanya batasan itu maka suara rakyat bisa ditangkap secara langsung, sebab kalau melalui kurir suara itu sudah tidak murni lagi karena ditunggangi oleh berbagai kepentingan.

bersambung: 


2.    Pola Paternalistik Masih Kuat