Lilik Rosida Irmawati: “Pengalaman Jadi Sumber Inspirasi”

Lilik Rosida Irmawati
Pembawaannya yang periang dan mudah bergaul dengan siapapun merupakan sifat utama yang melekat pada perempuan kelahiran Jember, 16 Juli 1964 silam ini. Lahir dengan nama Lilik Rosida Irmawati dan memiliki banyak nama samaran; seperti El Iemawati, Lilik RI, dan lain-lainnya. Ia juga kini terbiasa menulis namanya dengan Lilik Soebari.

“Nama ayah saya,” kata isteri budayawan Syaf Anton ini saat ditanya siapa Soebari itu, singkat.

Di kalangan perempuan di Sumenep, profil perempuan seperti Lilik tidak banyak ditemui. Aktivitas kesehariannya memang lebih banyak ke ranah publik. Disamping sebagai guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala salah satu SDN di Sumenep ini, Lilik juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Tulisannya tersebar dalam beragam bentuk. Mulai dari kolom, opini, maupun tulisan fiksi seperti cerpen, bahkan novel. Tak hanya itu sejumlah bukunya sudah beberapa di antaranya diterbitkan.

“Saya mulai menulis sejak duduk di bangku SPG di Bondowoso,” kisah ibu tiga anak ini.

Sejak di bangku sekolah menengah itu tulisan Lilik sudah mulai mengisi lembaran halaman beragam media massa. Dan memang tulisan awalnya yang sering dimuat di majalah-majalah adalah tulisan fiksi, yaitu cerpen, ovellet, yang selanjutnya menjadi novel. Baru setelah itu ia mengembangkan diri dengan menulis lepas dalam bentuk bentuk artikel, essai, feature dan lainnya.

“Semuanya mengalir begitu saja,” kata perempuan berkacamata tebal ini.

Menurut Lilik, sumber inspirasi menulis banyak didapat dari observasi dan turun langsung ke lapangan. Pengalaman diakuinya memberikan hamparan ide yang tak habis-habis untuk digali. Pengalaman paling berkesan dan berharga baginya saat masih menekuni aktivitas mengajar sebagai guru di pelosok kecamatan pinggiran di Sumenep.

“Dari sana saya banyak menimba pengalaman , khususnya pengalaman hidup masyarakat pedesaan,” imbuhnya.

Dari hasil observasi dan pengamatannya di lapangan, maka novelnya dalam bentuk fiksi realis diterbitkan di Majalah Fakta Surabaya sebagai Cerita Bersambung tahun 1994 berjudul "Marlena, Perjalanan Panjang Wanita Madura".

Disusul dengan buku bunga rampai seni tradisi Madura "Berkenalan dengan Kesenian Tradisional Madura",  yang diterbitkan oleh SIC Surabaya (2004). Kemudian "Gai' Bintang" (Disparbud Sumenep, 2007) merupakan kumpulkan folklore Madura dan sekaligus merupakan bentuk apresiasinya terhadap sastra lisan Madura. Hingga sekarang pun Lilik mengaku tengah menyiapkan buku-buku lainnya, dan masih di sekitar kehidupan seni tradisi Madura.

“Tunggu waktu untuk diterbitkan,” katanya sambil tersenyum.

Meluangkan waktu menulis bagi perempuan yang berprofesi sebagai pegawai pemerintahan, ditambah sebagai top leader di sebuah lembaga pendidikan, tentu bukan hal yang mudah. Apalagi Lilik juga terkadang disibukkan dengan aktivitas dadakan lainnya semisal menjadi narasumber atau pembicara di seminar-seminar pendidikan maupun budaya. Suaranya juga sering mengudara di dua stasiun radio di Sumenep, yaitu RRI dan RGS.

“Di RRI Pro 2 setiap minggu mengisi acara Warna-warni. Sedang di RGS mengasuh acara Budaya Kita setiap Sabtu siang. Ya intinya enjoy aja. Jalani saja hidup ini,” ungkapnya.

Di dunia jurnalistik pers, Lilik juga tercatat sebagai salah satu kuli tinta di Sumenep. Hingga kini Lilik aktif di Tabloid Info Sumenep sebagai salah satu reporter.

Tak hanya itu, Lilik juga merupakan salah satu aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat di Sumenep yang bergerak di bidang pendidikan. Sebagai aktivis LSM, ia menjadi Ketua LSM Poernama, yaitu LSM yang bergerak dibidang pengembangan pendidikan dan budaya. Lilik juga memegang kendali atas LSM Cerdas Bangsa, yang diarahkan sebagai bentuk pengembangan pendidikan, kesehatan dan lingkungan hidup.

“Jadi, seorang perempuan juga memiliki tanggung jawab yang sama di hadapan Negara dan masyarakat. Sama seperti laki-laki. Namun bukan berarti harus di posisi yang sama. Secara kudrati, fungsi memang tidak sama. Cita-cita Kartini bukan berarti harus menukar fungsi atau menyamakan fungsi seperti dalam kehidupan rumah tangga. Perempuan hanya harus maju, sehingga tak ada lagi diskriminasi yang memandang perempuan tidak dengan kedua belah mata,” tutupnya.

(m farhan muzammily)