Pendidikan Berbasis Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Sains

Lilik Rosida Irmawati

Saat ini wilayah pesisir (coastal zone) mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, karena telah terlampaunya daya dukung ekosistem pesisir akibat pencemaran limbah domestik, limbah industri, degradasi fisik habitat, erosi dan sedimentasi, kerusakan terumbu karang, konversi mangrove (hutan bakau) yang tidak berwawasan lingkungan, penurunan produksi perikanan, dan semakin sulitnya masyarakat pesisir mendapatkan penghasilan yang memadai, penurunan aset keindahan dan budaya, serta pembangunan daerah pantai yang tidak tepat 

Perlindungan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang efektif membutuhkan peningkatan kesadaran masyarakat luas, (termasuk didalamnya masyarakat pendidikan) mengenal nilai dan proses ekologi sumber daya tersebut, sehingga akan tumbuh rasa tanggung jawab menyangkut hak dan kewajiban dalam memanfaatkan dan melindungi sumberdaya di wilayah tersebut. Kesadaran dalam pengelolaan maupun perlindungan lingkungan pesisir diwacanakan sebagai suatu paradigma baru dengan menerapkan konsep perencanaan sumberdaya pesisir secara terpadu. Hal ini disebabkan pesisir laut merupakan sumber bahan pangan dan kehidupan. Proses pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja terus berlangsung tanpa diikuti perluasan kesempatan kerja dan produktivitas kerja.

Pembangunan pesisir membutuhkan paradigma baru, (tentunya ini sangat relevan dengan luas perairan Sumenep kurang lebih 50.000 km2 dengan panjang pantai577,76 km), karena selama Orde baru selain telah memberikan sedikit dampak positif, tetapi justru menyebabkan penurunan dan kerusakan lingkungan. Karena selama ini paradigma yang ada dan berkembang adalah “laut adalah milik negara” sehingga pengelolaannya berada di tangan negara. Masyarakat umum dan masyarakat pendidikan lepas tangan dan merasa tidak ikut memiliki sumberdaya alam tersebut, sehingga mayoritas masyarakat hanya menjadi penonton saja.

Sebagaimana diketahui, hutan mangrove yang masih baik berfungsi sebagai : (a) melindungi pantai dari abrasi gelombang laut, (b) mencegah terjadinya intrusi air laut, (c) sumber nutrisi dan habitat bagi biota laut, (d) habitat satwa liar, (e) penahan air laut, dan (f) sumber kayu secara terbatas. Menurut hasil penelitian, rendahnya pemahaman masyarakat terhadap pemanfaatan kawasan pesisir secara lestari berkaitan erat dengan ; (1) tingkat pendidikan, (2) penguasaan informasi dari sentuhan media massa, (3) peran PPL, (4) peran aparat desa, (5) peran tokoh masyarakat, (6) peran tokoh agama.

Strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dimulai dari jenjang pendidikan yang diformulasikan dalam bentuk kurikulum. Karena dengan memandang bahwa sumber daya manusia perlu dikembangkan melalui penguasaan ilmu, sehingga dapat mencapai kemampuan yang maksimal. Manusia mempunyai akal budi, dan kemampuan berfikir yang dapat digunakan untuk mengembangkan imajinasinya secara kreatif sehingga kemajuan dalam kehidupannya dapat diraih. Manusia mempunyai potensi atau kemampuan yang dapat dikembangkan melebihi dari yang dimiliki oleh makhluk lain, ini dibuktikan dengan kreasi-nya dalam bentuk ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban yang digunakan sebagai tumpuan kehidupan sepanjang masa.

Begitu pula dengan pendidikan sains, sejak masa Orba sampai sekarang, pendidikan dan pengajaran sain terkesan berpretensi berorientasi ke kesahihan, tetapi realitas tujuan tidak tercapai. Interaksi di kelas tidak menghasilkan transaksi yang memadai, hal ini disebabkan dominasi tutur dan kapur dalam proses PBM di kelas. Kategori “guru bicara” lebih sering terjadi,  dan tanya jawab, hanya berkutat pada arah pengembangan kognitif yang paling rendah, yakni hafalan rumus dan  hukum. Usaha untuk meningkatkan kepenadan melalui CBSA juga gagal. Orientasi “setengah hati” ke kesahihan juga tampak pada merajalelanya penggunaan tes obyektif dan keharusan merampungkan  peliputan buku ajar.

Adanya kelonggaran untuk menentukan kebijakan pendidikan sains dan mengelola serta mengevaluasi pelaksanaannya di era otonomi daerah, dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki keadaan yang digambarkan di atas. Badan pendidikan di Pemkab Sumenep harus bersuingguh-sungguh dalam mengembangkan pendidikan sains yang ditekankan pada validitas penelitian empiric, dengan otoritas yang kuat “pikiran yang telah berkembang” atas “pikiran yang sedang mekar” (vide; Wilardjo, 1998, p.50), dengan keketatan telaah, dan tuntutan atas standar capaian yang tinggi.

Pergeseran kiblat di era otonomi daerah dapat diusahakan oleh Badan Pendidikan  daerah dengan berbagai langkah penataan ulang. Ini tidak hanya menyangkut pengembangan kurikulum dan ancangan PBM serta pembinaan dalam suasana dalam hubungan antar pengajar dan siswa, tetapi juga berkaitan dengan agihan ruangan (spatial distribution) sekolah-sekolah yang disesuaikan dengan zoning dalam tata kota dan pengembangannya, penggalangan partisipasi masyarakat dan pembebasan dunia pendidikan dari berbagai pungutan.