Materi Cerita Anak

Oleh Dr. M. Shoim Anwar, M.Pd.



Materi atau permasalahan yang diangkat dalam menulis cerita anak sebaiknya kontekstual. Artinya, masalah tersebut sesuai dengan umur dan permasalahan yang secara umum dialami oleh anak-anak. Semakin dapat dimengerti oleh anak di berbagai wilayah, semakin baik cerita tersebut  karena memiliki nilai-nilai dan  muatan  universal.  Karena itulah cerita anak  biasanya menonjolkan  permasalahan  hubungan  antarteman, keluarga, atau persekolahan yang bersifat sehari-hari.

Materi  yang bersifat lokal  tentu boleh diangkat sebagai bahan cerita anak, tetapi  penyajiannya secara teknis harus dapat dipahami anak-anak. Sebagai contoh, kerapan sapi adalah budaya khas dari Madura. Bila ini diangkat jadi cerita anak, yang perlu ditonjolkan adalah perilaku para tokohnya, bukan seluk-beluk kerapannya. Muatan lokal yang diangkat dapat memperkaya  wawasan budaya bagi anak-anak.

Tentu saja  materi cerita anak harus  terhindar dari unsur sara, pornografi, dan kekerasan. Anak-anak sangat  mudah terpengaruh  karena sifat imitatifnya  terhadap apa yang dilihat, didengar, serta dibacanya.  Materi atau aksi yang membahayakan jangan diangkat sebagai cerita anak  karena dikhawatirkan ditiru atau disalahgunakan anak-anak.  Kita pernah mendengar berita ada anak-anak meninggal dunia karena meniru perilaku  film/tayangan di televisi.  Deskripsi penggunaan bahan-bahan tertentu yang bersifat  kimiawi, kekerasan, dan mistik  perlu dihindari.

Di samping cerita tentang binatang/fabel, anak-anak umumnya juga tertarik dengan cerita  yang berkaitan dengan hantu. Bila hal tersebut  diangkat sebagai bahan cerita, jangan sampai kisah itu justru membuat anak semakin takut dan tidak punya keberanian.  Kisah harus membuat anak jadi pemberani dan tidak takut lagi pada hantu.  Kisah Scooby Doo yang terkait dengan hantu-hantuan, hampir semuanya  berakhir  dengan  membuka kedok bahwa hantu tersebut ternyata palsu alias buatan manusia semata.  Keberanian anak-anak  dibangkitkan  dengan membuka kepalsuan.               

Karakter Cerita Anak

Misi  dominan cerita anak adalah membentuk karakter pembacanya.  Tokoh dalam cerita anak  diusahakan bersifat hitam-putih. Artinya,  terdapat tokoh yang berkarakter baik (putih) dan berkarakter buruk (hitam). Kedua tokoh tersebut dipakai sebagai model agar anak-anak dapat membedakan dengan jelas siapa yang baik hati dan siapa yang tidak. Tokoh yang tidak baik pada akhirnya  akan menyadari perbuatannya. 

Karakter tokoh dalam cerita anak lebih ideal ditampilkan di awal sehingga menjadi persoalan yang langsung diketahui pembacanya.  Bila tokoh utamanya berkarakter buruk di awal kisah,  berangsur-angsur karakter tersebut harus  menjadi baik di akhir kisah sebagai misi penyadaran.  Perhatikan paragraf awal cerpen  “Tindakan Kasih Guruku” karya Veronica Pujisetyorini  sebagai  Juara I Lomba Cerpen Gurun 2004 yang diadakan majalah Bobo.  
           Aku menunduk sedih di ruang guru siang itu. Sedih karena menyesali perbuatanku yang memalukan itu.
           Perbuatanku kemarin memang tak bisa dimaafkan oleh para guru dan teman-temanku. Tak heran, bila para guru, terutama wali kelasku sangat marah atas perbuatanku itu. Dan aku merasa semua suara  menyalahkan aku, dan semua mata menatapku  penuh amarah.  Sungguh, aku sangat menyesali kebodohanku itu.

Paragraf terakhir kisah tersebut adalah sebagai berikut:
                        Kini aku  bisa merasakan tindakan kasih Bu Unung. Aku merasa dilindungi dan dibela. Perasaan ini  sangat indah. Entah bagaimana perasaanku andai Bu Unung tidak melakukan tindakan kasih ini.

                        Esok harinya aku mengembalikan saputangan Bu Unung di meja kerjanya. Kusisipkan secarik surat tanda terimakasih atas kebaikan  beliau.  Sejak kejadian itu kami menjadi akrab. Terimakasih atas kasih sayangmu, Bu... Aku menjadi lebih bersemangat datang ke sekolah. Karena ada senyum Bu Unung di sana.
              (Tindakan Kasih Guruku, Kumpulan Cerpen Karya Guru 2, Pustaka Bobo, 
                hlm. 7 & 17).

 Karakter atau watak  tokoh dalam cerita anak harus benar-benar diperhatikan oleh penulis. Tokoh harus digerakkan sesuai  dengan watak yang sudah ditentukan. Hubungan sebab-akibat ketika  tokoh bertingkah laku  harus dapat diterima secara akal sehat oleh anak-anak sebagai pembaca. Bagi pengarang, tokoh bukan seperti boneka yang bisa digerakkan sesuka hati.  Setiap tokoh punya karakter atau watak sehingga tingkah lakunya pun harus logis.  Dengan kata lain, pengarang harus tunduk kepada karakter tokoh. Perubahan watak tiap tokoh harus logis.

 Ada beberapa teknik  menggambarkan karakter tokoh,  antara lain: 1. Dilukiskan langsung oleh pengarang melalui deskripsi,  2. Melalui dialog antartokoh , 3.  Melalui reaksi tokoh lain, 4. Melalui penggambaran  lingkungan sekitar tokoh , 5. Kombinasi.

 Pengarang dapat mengambil cara-cara penokohan di atas sesuai kepentingan. Pada umumnya penokohan dilakukan  lebih dari satu teknik.   Ini juga untuk mengatasi agar bentuk pengungkapan cerita tidak monoton memakai satu pola. Pengungkapan cerita yang ideal  itu seimbang antara deskripsi dan dialog. Bila deskripsi yang dominan cerita akan menjadi  agak membosankan. Bila dialog yang dominan akan  terkesan cair.  Penggabungan yang seimbang antara deskripsi dan dialog akan menjadikan cerita lebih segar.

Alur Cerita

Kisah yang diperuntukkan orang dewasa, bila dilihat dari standar mutu karya seni selama ini, umumnya  menghindari gaya yang menggurui. Cerita yang menggurui  dinilai tidak bermutu karena menganggap pembacanya bodoh.  Alur cerita untuk orang dewasa  umumnya berakhir agak terbuka, yakni tidak diselesaikan secara total karena memberi kesempatan untuk berpikir dan menarik amanat sendiri.

Berbeda dengan  kisah orang dewasa, cerita untuk anak perlu diselesaikan dengan alur tertutup, yaitu semua persoalan diselesaikan dengan tuntas. Para tokoh yang salah harus menyadari kesalahannya, sedangkan tokoh yang baik harus menunjukkan kebesaran hatinya hingga dia semakin baik kesannya. 
    
Penyelesaian kisah untuk anak  harus menghindarkan  dari tindak kekerasan.  Persoalan psikologis lebih dikedepankan  dalam penyelesaian masalah secara tulus, bukan penaklukan  dan keterpaksaan.

Karena kesadaran yang tulus, cerita anak yang ideal berakhir dengan  happy ending, ada semangat dan motivasi untuk lebih baik di masa mendatang. Para tokoh menemukan keceriaan bersama-sama.

Penyajian Fisik

Cerita untuk anak  memerlukan pendukung  agar kehadirannya menarik dan memancing minat baca anak-anak.  Baik dimuat di majalah maupun  dalam bentuk buku, cerita untuk anak perlu  diberi ilustrasi atau gambar sebagai pendukung.  Gambar atau ilustrasi yang menarik,  apalagi berwarna, menjadi nilai tambah kehadiran cerita anak.

Pada tahap awal, anak-anak umumnya melihat terlebih dahulu gambar atau ilustrasi   pada cerita yang ada.  Bahkan, karena gambar atau ilustrasi itulah anak-anak  mau membaca ceritanya.  Fantasi anak-anak memang tumbuh lebih awal dibanding logika. Sementara itu anak juga punya naluri untuk mengonkretkan  apa yang ada dalam fantasinya. Pada situasi demikian itulah kehadiran gambar atau ilustrasi menjadi penting.
                                                                                          Surabaya, 2017

Disampaikan pada workshop penulisan cerita Rumah Literasi Sumenep di Aula SMA PGRI Sumenep , 19  Febuari 2017  


Tulisan bersambung:
  1. Menulis Cerita Anak
  2. Materi Cerita Anak