Menulis Cerita Anak

Oleh Dr. M. Shoim Anwar, M.Pd.


 Secara umum, perkembangan manusia mengalami beberapa fase, yaitu balita, anak-anak, remaja, dewasa, dan tua.  Fase anak-anak  berkisar antara umur 6 -12 tahun ketika mereka  duduk di sekolah dasar.   Pada umur inilah kematangan mereka dalam hal baca-tulis    mengalami sensitivitas yang sangat baik.  Penanaman nilai-nilai melalui literasi, khususnya yang berbentuk cerita anak, menjadi  penting dan strategis. Pada masa ini pula  pembentukan  pembiasaan membaca  harus dibangun dengan sungguh-sungguh  sebagai  fondasi masa berikutnya.

Cerita anak, sebagai salah satu genre sastra, adalah salah  satu media kultural yang baik untuk membentuk karakter, motivasi,  pengetahuan, serta hiburan  bagi anak-anak. Anak-anak membutuhkan  cerita sebagai  media untuk memenuhi naluri estetis, imajinatif, dan permainan.  Dari masa lampau, di mana pun,  anak-anak menyukai cerita yang didongengkan oleh orang tuanya.  Sastra lisan  yang diturunkan dari generasi ke generasi juga harus tetap dijaga  sebagai kekayaan  budaya. 

Tentu saja tidak semua cerita rakyat atau dongeng cocok untuk konsumsi anak-anak.  Dongeng si Kancil misalnya, di satu sisi, punya efek pesan yang kurang baik karena adanya kegemaran si Kancil untuk  “menipu” atau “mencuri”.   Jangan-jangan merebaknya korupsi di Indonesia  dan sulit diberantas karena efek buruk dari dongeng-dongeng si Kancil.  Demikiajn pula dongeng  Jaka Tarub dan Terjadinya Candi Rara Jonggrang  dengan berbagai variasi yang ada, semuanya menggunakan strategi “mencuri” dan “menipu”  untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Dunia terus berkembang. Meski dongeng dan cerita rakyat tetap bertahan, ragam cerita untuk anak mengalami  perluasan bentuk.  Media elektronik  semakin  diakrabi anak-anak. Cerita untuk anak banyak ditampilkan di sana. Peran orang tua semakin berkurang dalam mentransformasikan  nilai-nilai melalui  cerita lisan.  Sementara itu tidak sedikit cerita atau film yang konon untuk anak, karena para tokohnya juga anak-anak  atau binatang,  tidak jarang  memiliki efek pesan yang kurang baik. Kekerasan dan kejahatan sering menjadi modus untuk mencapai tujuan. Film serial atau bacaan Mickey Mouse dan Tom and Jerry  umumnya dipenuhi adegan kekerasan.   Pada bagian lain, tidak sedikit pula cerita yang konon untuk anak, karena tokohnya memang anak-anak, ternyata diselerai oleh orang dewasa karena anak-anak hanya dijadikan alat,  misalnya serial Crayon Shinchan. Serial Detektif Conan terasa terlalu tinggi  untuk  konsumsi anak-anak karena memang sesungguhnya Conan sendiri bukanlah anak-anak yang murni.

Literasi melalui media sastra anak harus dikembangkan untuk menandingi media  elektronik.  Pada perkembangan yang normal, budaya literasi dimulai dari lisan, bacaan, kemudian sinema/elektronik.  Budaya membaca pada anak-anak Indonesia sekarang umumnya terlompati  karena adanya media elektronik semacam televisi.  Kebiasaan  dan ketahanan dalam membaca semakin tidak terlatih.  Akibatnya anak-anak suka mengeluh kalau mendapati bacaan  yang dirasa panjang, misalnya soal-soal ujian pada pelajaran bahasa Indonesia. Nilai mereka umumnya tidak bagus karena lemahnya literasi mulai dari tahap awal.
             
Sastra Anak
            
Sastra anak adalah sastra  yang diperuntukkan  anak-anak.  Sastra anak boleh ditulis oleh anak-anak maupun orang dewasa.  Bila anak-anak yang menulis, sastra anak akan sangat autentik  karena benar-benar mencerminkan dunia anak yang alamiah, baik terkait tema maupun bahasa khas mereka.  Dengan segala kelebihan dan kelemahannya, sastra yang ditulis anak-anak menjadi sarana pembelajaran untuk menuangkan  ide dan imajinasi mereka.  Sudah banyak karya anak-anak yang diterbitkan, yang paling  dikenal dibumbuhi dengan subjudul  Kecil-kecil Punya Karya (KKPK).  Tentu saja KKPK sudah mengalami editing orang dewasa  karena diterbitkan secara komersial.  Beberapa majalah anak-anak seperti Bobo dan Mentari  juga memuat cerita karya anak-anak.    

Sastra anak yang ditulis oleh orang dewasa tentu sifatnya lebih “canggih”, terkontrol dan memiliki perhitungan  orang dewasa.  Sastra anak jenis kedua ini muatannya sudah diperhitungkan secara dedaktis  sebagai media penanaman sikap dan pengetahuan.  Meski begitu, kadang roh anak-anaknya kurang mengena karena sudah  ada jarak dengan dunia penulisnya.  Tidak bagus kalau sastra untuk anak terlalu diselerai orang dewasa, mirip dengan peragaan busana yang diikuti anak-anak, tetapi  nuansa anak-anaknya hilang karena anak-anak hanya dijadikan alat oleh selera orang tua sehingga  mereka menjadi terlalu genit dan tidak alamiah.   

Sastra  anak yang ditulis orang dewasa dapat kita baca pada harian Kompas dan majalah Bobo. Majalah tersebut juga menerbitkan cerita-cerita itu menjadi kumpulan cerpen secara berkala, termasuk  Kumpulan Cerpen  Karya Guru yang merupakan hasil lomba majalah  tersebut.  Paling tidak, dalam  menulis cerita untuk anak, cerpen pemenang dalam kumpulan di atas dapat dipakai sebagai model.

Seperti  pada umumnya, genre  sastra anak dapat berupa  puisi, prosa, maupun drama. Khusus prosa, bentuk sastra anak yang paling cocok adalah cerita pendek.  Panjang cerpen untuk anak maksimal  2.000 kata, tergantung  untuk siswa kelas berapa.  Untuk siswa kelas I – II, jumlah kata sebaiknya dibawa 500  kata.  Jumlah kata tersebut  dapat ditingkatkan sesuai dengan  kelas atau usia siswa.  Penulis sastra anak perlu memperhitungkan untuk siswa kelas berapa karya tersebut dicipta.      

Bahasa Cerita Anak

Dalam disiplin sastra murni, bahasa  karya sastra  umumnya memiliki makna konotasi sebagai akibat faktor imajinasi yang menghendaki adanya nilai rasa dan makna ganda. Semakin baik karya sastra akan  semakin banyak memancarkan kemungkinan makna.  Tafsir ganda terhadap karya sastra  sengaja diciptakan pengarang untuk  mencapai efek estetis secara simbolis. 

Dalam menulis sastra anak, makna konotasi justru harus diminimalkan agar tidak terjadi bias makna. Bahasa cerita anak harus bersifat denotasi, bermakna lugas atau  terus terang  agar anak dapat  menangkap makna atau pesan  yang diharapkan sang penulis.  Bahasa cerita anak lebih difungsikan sebagai sarana komunikasi  yang mudah dipahami, bukan sarana ekspresi  estetis yang mempribadi. 

Ada baiknya kita menghindari kalimat-kalimat panjang  atau kalimat majemuk yang kompleks   dalam menulis cerita anak, baik dalam deskripsi maupun dialog.  Utamakan menggunakan bahasa Indonesia yang baik agar dapat memupuk rasa kecintaan terhadap bahasa Indonesia.  Banyaknya  buku cerita yang ditulis oleh anak/remaja yang  menggunakan judul bahasa Inggris, padahal isinya bahasa Indonesia, sebenarnya fenomena yang kurang baik. Kita khawatir para penulis tersebut merasa  lebih bergengsi bila menggunakan bahasa asing secara campuran.  Rasa rendah diri itulah yang perlu kita atasi.

Penggunaan bahasa juga terkait dengan kesan yang dimunculkan dari kata-kata yang dipakai. Bahasa memang media utama dalam cerita sehingga semua elemen cerita dapat dilihat dari bahasanya. Kutipan  dari paragraf kedua cerpen  “Guru yang Mengubah Duniaku”  karya Nur Paridah di bawah ini terasa sekali  ada selera  orang dewasa  dalam mendeskripsikannya, padahal yang bertutur adalah anak di pedesaan terpencil. Hanya karena membaca majalah Bobo di perpustakaan dia dapat berkisah seperti berikut ini.
Sebuah desa tanpa penerangan listrik seperti teman-teman rasakan di kota. Jadi kami tidak mengenal TV. Apalagi permainan Time Zone. Dan tak ada pasar, boro-boro mall. Keadaan ini  membuat kami bagai terpisah dengan dunia luar. Kami tenggelam dalam irama kehidupan  yang terbelakang. Bahkan dulu aku tidak menyangka ada dunia lain selain desa kami dan sekitarnya. Betapa banyaknya yang tidak kami ketahui sebelum jendela ke masa depan itu terbuka bagi kami.

       (Sahabat, Kumpulan Cerpen Para Guru 3, PT Penerbitan Sarana Bobo, hlm. 19).

Tulisan bersambung:
  1. Menulis Cerita Anak
  2. Materi Cerita Anak