Si Pencabut

Pentigraf Lilik Soebari


Raungan sirine semakin menjauh dan lamat_lamat menghilang ditengah deru kendaraan bermotor, namun demikian petugas lalu lintas belum memberikan tanda untuk melintas baik dari jalur kanan maupun jalur kiri. Suara klakson terdengar dari empat penjuru. Petugas polisi tak bergeming masih tetap berdiri dengan posisi tangan lurus ke samping kanan. Tiga petugas dari arah kiri dan kanan tetap dalam posisi seperti itu. Para sopir dan pengendara motor hanya bisa mengumpat dalam hati. Serentak tiba-tiba suara klakson maupun deru kendaraan berhenti. Dari atas bus aku bisa melihat apa yang terjadi, sekitar sepuluh meter ada satu polisi duduk berjongkok, kedua tangannya meraup sesuatu, dan darah belepotan di kedua tangannya. Inilah yang membuat semua kendaraan diam terbungkam. 

Beberapa supir turun setelah tahu apa yang terjadi. Salah satunya menjulurkan kain yang dibuka dari balutan kepala. Penuh hikmah kemudian mereka memungut dan memindahkan sesuatu yang berserakan, tangan mereka memerah. Setelsh itu mereka pindah ke onggokan lainnya sekitar 3 meter dari yang pertama.. Jelas sekali sorot msta kesedihan terpancar. Setelah merampungkan memungut tanpa dikomando mereka komat_kamit memanjatkan doa. Ritual pun selesai, sopir yang membantu polisi kembali ke kendaraannya. 

Semua bernafas lega, bungkusan kain tersebut ditenteng salah satu polisi dan suara sempritan peluit menyadarkan para supir dan pengendara. Derum kendaraan kembali memekakkan telinga. Semua supir, pengendara maupun para penumpang tidak menyadari karena sejak awal ketika sirine meraung_raung dan kemudian diikuti rombongan pejabat tinggi melintas dengan kecepatan tinggi demikian asyik melihat formasi kentaraan patwal diikuti sedan-sedan mewah, bus-bus besar dan rombongan mobil. Rombongan besar pejabat tinggi, si empunya jalan dan siapapun takkan mampu menyentuh. -Dan merekapun tak peduli ketika roda-roda kendaraan mereka secara bergantian melindas dan mencabut nyawa tanpa jeritan.

Sumenep, 08 Mei 2016