Usai

 Pentigraf Lilik Soebari


Seperti siang-siang sebelumnya dia duduk sembari memeluk dengkul selepas mengajar dan riuh rendah pekikan-pekikan anak menguap di udara. Cahaya matahari menembus daun cemara yang rimbun dan memberikan keteduhan bukan hanya pada tubuh paruh baya dan burung gereja bercericit riuh tetapi juga ulat-ulat hitam yang bergelantungan dan menitipkan hidup dan kepakan sayap pertamanya penuh warna.

Satu minggu telah berlalu, keriuhan pesta dan pujian mengalir seperti bah masih berdenging di telinga. Sungguh kepuasan dan kebahagiaan memenuhi seluruh aliran nadi karena impian putri semata wayangnya tercapai dalam balutan kemewahan, dihadiri lebih dari tiga ribu tamu sebagai ratu bersanding raja dalam hitungan jam. Semua puncak kemewahan sebanding dengan keringat dan dana yang mengucur sangat deras dari kantong tabungannya selama hampir dua puluh lima tahun dan menguburkan impiannya menginjakkan kaki dirumah kekasih sejati dan abadi. Dia tidak menyesalinya karena kebahagiaan anak semata wayang diatas segala-galanya.

Sungguh tak terbersit penyesalan dalam renungan panjangnya setiap siang dibawah rimbun cemara. Kebahagiannya demikian membuncah karena doa-doa panjang ditengah pekat malam, sholat sunnah yang tak pernah absen dan puasa Senin Kamis yang tak pernah tumbang terkabul. Tuhan telah memberikan berkah yang demikian melimpah. Dia telah menyiapksn masa depan putri semara wayang dan juga cucunya yang belum terlahir rumah, sawah dan hipermarket. Semuanya telah dipersiapkan. lalu untuk dirinya apa? Candaan teman sejawat tempo hari melintas dan tiba-tiba mengusik menghentak hatinys. Ya, untuk dirinya apa? Kepompong-kepompong muda dalam pertapaannya berdenyut ketika dia tengadah mencari jawaban itu.


Sumenep, 15 Mei 2016