Kecerdasan Emosional Membentuk Manusia Paripurna

L. Rosida Irmawati

Setiap orang tua senantiasa berharap, setiap anak yang dilahirkan sebagai penerus keturunan sekaligus amanah  dari Allah SWT, kelak menjadi anak yang cerdas, saleh dan berbudi luhur. Menjadi anak yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat serta bagi negara.

Untuk menjadikan anak sehat, cerdas dan ber-prestasi, tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai faktor dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak, baik faktor genetika, perawatan yang baik pada waktu kehamilan, gizi yang memadai baik ketika janin berada dalam kandungan ataupun masa tumbuh kembang anak, perumahan yang layak, pemeliharaan kesehatan, kasih sayang, lingkungan serta stimulasi yang terarah.

Komponen yang tak kalah pentingnya dalam pembentukan anak, adalah pendidikan. Dalam lembaga pendidikan ini potensi anak dikembangkan secara utuh dan  maksimal. Baik yang berkaitan dengan kecerdasan academies (IQ) maupun kecerdasan emosional.

Banyak orang ber pendapat bahwa keberhasilan dalam meraih prestasi hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual (IQ) saja, tetapi asumsi semacam itu mulai ditepis dan diragukan. Banyak para pakar psikologi menyebutkan bahwa kecerdasan emosional memberikan saham 80 % bagi kesuksesan.

Hal itu disebabkan karena kecerdasan emosional bukan bersifat bawaan, kecerdasan emosional dapat dipelajari karena mencakup hasil-hasil pembelajaran dari lingkungan, mulai dari lingkungan keluarga sampai lingkungan masyarakat luas. Karena itu kecerdasan emosional mempunyai peluang yang lebih besar untuk dikembangkan, karena dapat dilakukan melalui interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang bersifat genetik dan tidak bisa diubah,  kecerdasan emosional bisa dikembangkan dan dipelajari. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri, mampu mengelola emosi, mampu memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang lain. Sehingga dengan memiliki ketrampilan emosional tersebut setiap individu bisa me-manajemen diri dan empati, memahami orang lain dan bertindak bijaksana.

Dalam berinteraksi dengan orang lain, diperlukan kunci kecakapan sosial, yaitu seberapa baik atau buruk orang mengungkapkan  emosinya dalam setiap perjumpaan individu mengirimkan isyarat-isyarat emosional dan isyarat-isyarat itu mempengaruhi orang-orang yang sedang bersama kita. Dengan mengembangkan kecerdasan emosional, setiap individu mampu menjadi pribadi berkarakter, disiplin, jujur, disenangi baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sosial masyarakat, lingkungan pekerjaan ataupun kehidupan perkawinannya kelak.

Dengan kemampuan memanejemen emosi, setiap individu (anak) akan mampu membelokkan emosi negatif. Sehingga emosi negatif tersebut dimotivasi menjadi kumpulan emosi positif yang menghasilkan perasaan antusias, gairah dan keyakinan diri dalam meraih prestasi.

Berdasarkan teori Howard Gardner tahun 1983, bahwa kecerdasan bukanlah kemampuan tunggal (akademis saja) tapi kemampuan majemuk yang terdiri dari 8 kecerdasan. 8 kecerdasan tersebut berfungsi secara terpisah sekaligus juga dapat saling berinteraksi membentuk satu tampilan kecerdasan yang khas pada setiap anak.

Peter Senge dalam bukunya “School that learm”, menjelaskan tentang 8 kecerdasan tersebut, yaitu :
    1. Jika anda “word smart”, maka anda biasanya menonjol di bidang bahasa, menulis, menciptakan puisi dan bercerita,
    2. Jika anda “logic smart”, maka anda memiliki keunggulan dalam menyesuaikan masalah, berfikir induktif dan deduktif, bekerja dengan simbol/abstrak dan memahami pola-pola tertentu,
    3. Jika anda “picture smart”, maka anda punya bakat yang berkaitan dengan visual misalnya (menggambar, melukis dan memahat) dan memahami cara kerja mesin atau belajar sesuatu yang baru dengan melihat (mudah menangkap cara kerja mesin, membongkarnya dan memasangnya kembali),
    4. Jika anda “body smart”, maka mudah bagi anda untuk menggunakan anggota tubuh dengan lentur, olah raga, olah gerak dan bergerak,
    5. Jika anda “musik smart”, maka anda akan unggul dalam mengenali nada dan ketukan, peka pada suara manusia, instrumen musik, suara lingkungan/alam,
    6. Jika anda “nature smart”, maka anda telak mengembangkan kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar, mudah bekerja dengan tanaman, hewan dan habitat alami,
    7. Jika anda “people smart”, anda akan tahu bagaimana bekerja dengan orang lain, mengenali perasaan orang lain dan mengartikannya, mampu menebak apa yang akan dikerjakan orang lain selanjutnya,
    8. Jika anda “self smart”, anda memiliki kemampuan tentang diri, kemampuan memahami dan mengendalikan kemampuan diri pada saat berfikir, menyelesaikan masalah, mencari penjelasan logis dalam  pengambilan keputusan  dan refleksi diri.           
    Sangatlah menarik sekali, karena para ahli psikologi melihat kecerdasan dalam pandangan yang lebih luas dan realistis. Namun sayang, tes kecerdasan selama ini lebih  berorientasi pada kemampuan akademik, hanya mengukur aspek analitis, hanya mengukur ketrampilan verbal dan logika matematika.

    Orang tua, lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang paling ber-peluang dan diandalkan dalam mengembangkan dan mengajarkan kecerdasan emosional, karena aspek-aspek kecerdasan tersebut dapat diajarkan setahap demi setahap sesuai dengan perkembangan  usia anak.

    Di lingkungan sekolah  pengembangan dan pengajaran kecerdasan emosional, dilakukan dengan cara meningkatkan kualitas berfikir analitis, kreatif dan praktis. Tak kalah pentingnya mengajarkan fleksibilitas/keluwesan, yaitu mengajarkan anak melihat berbagai masalah dari sudut pandang bermacam-macam, untuk memahami bagaimana orang lain dan budaya lain memandang masalahnya, mengetahui kelebihan dan kekurangan serta menemukan cara untuk memaksimalkan kelebihan, memberikan yang terbaik, mengoreksi atau memperbaiki kelemahan diri.

    Sayangnya, sebagian besar pendidikan di Indonesia terlalu menekankan nilai akademis atau IQ saja. Baik dari tingkat sekolah dasar sampai bangku kuliah. Jarang sekali ditemukan pendidikan yang berorientasi pada kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang integritas;  kejujuran ;  komitmen; kreatifitas; dan penguasaan diri. Sehingga tidak mengherankan, produk pendidikan di Indonesia menghasilkan SDM yang hanya mengandalkan logika, yang  berbuntut pada krisis, baik krisis ekonomi, budaya dan  krisis moral atau buta hati.

    Sumenep, Juli 2003