Alqur’an Itu Unik dan Universal

Kalau laut diibaratkan sebagai tinta, dan ranting diumpamakan sebagai pena, maka lautan yang membentang di seluruh jagat raya serta berbilyun ranting tidak akan mampu menggali semua ilmu yang terkandung dalam Alqur’an. Dari masa ke masa penggalian dan pengkajian berbagai disiplin ilmu yang bersumber pada Alqur’an tidak pernah surut, Alqur’an menjadi sumber utama, menjadi sumber inspirasi bagi perkembangan keilmuan dan tingginya peradaban manusia.
Lebih konkrit mencermati dari berbagai sudut pandang tentang keunikan dan keuniversalan Alqur’an, berikut bincang-bincang El Iemawati dengan Ustad Abdurrahman Nasrudin, Jum’at, 4/09/2009

Sebenarnya makna apa yang terkandung pada Nuzulul Qur’an ?
Nuzululul Qur’an tepatnya saat atau waktu diturunkannya Alqur’an, ada sebagian ulama mengatakan bahwa secara keseluruhan diturunkan oleh Allah SWT dan dipersiapkan untuk diturunkan kepada Rasulullah pada waktu itu. Tapi ada sebagian yang mengatakan pertama kali Rasulullah mendapatkan wahyu, diturunkan Alqur’an pertama kali Iqra pada waktu itu, Inna anjallnahuu fill lailatur qodar mawa adrokama lailatur qodar, ada yang mengatakan pada lailatur qodar, sebagaimana terdapat pada surat Ad-Dhuha. Surat tersebut juga menjelaskan bahwa pada saat diturunkan Al-Quran, ada sebagian ulama menyatakan bahwa Alqur’an diturunkan secara keseluruhan, dan dibiarkan di atas langit, lalu diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah berkenaan dengan asbabul nuzulnya, berkenaan dengan sebab-sebab turunnya Alqur’an itu, secara berangsur sampai berakhir ayat itu diturunkan, yaitu ayat Al-Maidah

 Dalam konteks kekinian, bagaimana upaya untuk memahami Alqur’an secara utuh, ini berkaitan dengan para penafsir yang dalam setiap jamannya mengalami perubahan ? Apa ada kriteria penafsir, apa orang yang ahli agama, lembaga keagamaan atau pribadi ?
Saya kira Alqur’an itu sangat fleksibel karena bisa dipahami oleh semua kalangan, itu uniknya Alqur’an. Pada saat turun, di saat orang-orang Arab pintar balagah, begitu, tapi secara ilmiah belum begitu mumpuni, dia sanggup memahami dan menjiwai Alqur’an. Mungkin andaikata dikaitkan dengan keilmuan yang berkembang pada saat ini, yaitu intelegen question, emosion question ataupun spritual question, mungkin dari ketiga-tiganya itu Alqur’an ada didalamnya. Karena bisa dipahami secara mentalnya, secara kecerdasan umum, ataupun spritualnya bisa, dan sangat rasional Alqur’an itu

Berkaitan dengan paparan Ustadz, kriteria apa yang mesti dipunyai oleh para penafsir untuk menggali Alqur’an ?
Ya kalau mau menafsirkan secara tekstual, secara harfiah, mungkin kita harus tahu lughoh, tahu nahu, tahu syorof, tahu usul fighnya, tahu kaitannya dengan fikih tahu sejarahnya dan menguasai bahasa Arab. Karena Alqur’an itu sangat unik dan universal. Tapi andaikata mereka sudah tidak mampu untuk mempelajari bahasa Arab itu sendiri, kita lihat terjemahannya, dan dipahami, andaikan tidak mengerti bisa bertanya kepada orang yang mampu dan menguasai bidang itu

Dalam artian apabila seseorang tidak mampu menafsirkan secara harfiah bisa menafsirkan hanya dengan terjemahannya ?
Ya, tidak apa-apa, tidak menjadi masalah, Alqur’an itu memang unik, mau dilihat dari terjemahannya andaikata diberi hidayah oleh Allah SWT, Insya Allah orang tersebut akan sanggup untuk memahaminya

Alqur’an kan ada seribu penafsiran dan ada bebarapa kelompok aliran, seperti JIL ataupun HTI. Menurut Bapak ?
Saya kira biasa-biasa saja, umpamanya seperti kelompok-kelompok mereka kan terletak pada penekannya. Seperti JIL penekannya secara rasionalitas, akal. Saya melihat dasar mereka lebih banyak berfikir secara rasional dan menekankan pada logika, seperti usul Figh itu memang banyak berbicara masalah rasional, cara penarikan hukumnya, kodifikasi hukumnya rasional. Atau umpamanya, mereka yang menekankan menafsirkan Alqur’an dengan diterjemahkan secara Alqur’an juga, ada yang menafsirkan Aqur’qn ditafsirkan dengan Hadist, menafsirkan Alqur’an dan menterjemahkan secara hukumnya, hukum syariahnya
Dan itu sah ?
Ya, memang kalau kita melihat dari tafsir-tafsir yang mu’tamat, diakui, di antara beberapa tafsir memang mempunyai ciri-ciri cara menafsirkan. Ada yang menafsirkan secara roi, akal, rasional, ada yang menafsirkan harus I’timat dengan Hadist-hadist, malah ada yang isroiyat, cerita-cerita isroiyat itu juga dimasukkan meskipun kebenarannya itu masih dipertanyakan. 

Dari beberapa penafsir yang mumpuni itu ada beberapa perbedaan yang kontras, seperti Al-Maruqi, Imam Syafi’I, dan lainnya. Bagaimana itu ?
Saya kira kalau kontradiksinya cuma di fiqih, saya kira masih bisa disamakan. Meskipun juga di dalam masalah ketuhanan, masalah urubiyah itu sebenarnya pengembangan-pengembangan daripada zaman ke zaman. Seperti Abu Hasan Al-Ashari, beliau menafsirkan bahwa sifat-sifat Allah SWT itu 20, beliau mengambilnya juga dari Alqur’an, itukan sebenarnya rincian dari Laila Haillallah Muhammadar Rasullullah. Sedangkan pada waktu kebawah lagi, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim, Muhammad Abdul Wahab Attamimi,beliau-beliau lebih mengembangkan lagi. Mungkin bagi mereka, istilahnya sangat fanatik, pemikirannya lebih pro pada diatasnya, mungkin pendapat yang baru tidak sanggup menerima. Padahal ilmu Allah SWT itu sangat luas, jendela-jendela keilmuan itu sangat banyak

Berkaitan dengan umara yang katakanlah taraf pencarian ilmunya hanya mendengar, bagaimana menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut agar tidak terjadi benturan-benturan ?
Kalau istilah mendengar itu kan proses, masalahnya manusia pada umumnya itu ya awalnya harus mau mendengar. Wainnahuula dikrolimankanalahuu kalbun … dst, pertama dia harus punya hati dulu, keinginan, setelah itu dia mau mendengar, setelah itu mau berfikir, prosesnya begitu. Jadi andaikata mereka dari kalangan awan, mendengar saja, seperti katanya Qult Mustamian. Jadilah kamu orang yang mendengar, kun aliman, au mutaalliman, au mustamian. Jadilah kamu memang orang yang alim, sangat tahu atau orang yang mencari, mempelajari atau mustamian, orang yang mendengar. Ada beberapa fase dalam mempelajari ilmu agama

Dari beberapa penafsiran tersebut muncul perilaku-perilaku keagamaan, khususnya di Indonesia, ada jamaah tablig, ada jemaat berjenggot, dan ada yang tasawuf. Mereka-mereka ini seakan-akan menjadi sangat eksklusif. Bagaimana ini ?
Ya, eksklusif menurut mereka sendiri, ha…ha…ha…, sebenarnya ndak apa-apa. Bagi saya pribadi bebas dalam hal masalah ini. Seseorang kadang-kadang ada kecenderungan untuk lebih tasawuf, sufi, ada kecenderungan berfikir secara tekstualnya, ada yang lebih pada kontekstualnya, ada yang berfikir masalah mentalnya, berfikir masalah sejarahnya, dan ada yang menekankan pada masalah rasionalitasnya. Titik penekanannyaitu terserah pada masing-masing kelompok, yang penting harus saling menghormati dan menghargai dan tidak saling memvonis, saling menyalahkan serta saling membenarkan kelompoknya

Nah, mengapa sampai muncul perbedaan-perbedaan semacam itu ?
Itu adalah khasanah, dan itu adalah salah satu bukti bahwa Allah SWT Maha Kaya. Akal, otak manusia yang kecil itu diberi keragaman berfikir yang satu sama lain tidak sama. Bayangkan, berbilyun-bilyun manusia sejak jaman diturunkan ke muka bumi sampai sekarang. Pada zaman Rasullullah saja ada sebuah permasalahan yang berfikir diantara para sahabat itu juga berbeda, Rasullullah bisa menghargai satu persatu. Contoh, ketika ada tawanan perang Rasulullah meminta saran kepada Umar, Umar memberikan saran supaya tawanan itu dibunuh saja karena musuh, ketika minta saran kepada Abubakar, Abubakar memberi saran agar satu dari mereka bisa mengajarkan baca tulis karena masih banyak yang buta huruf, bagi mereka yang mampu agar ditebus dan yang ngotot dibunuh saja. Rasulullah mengambil saran dari Abubakar, dan saran dari Umar juga tidak ditinggalkan. 

Dalam artian, pemahaman Alqur’an disesuaikan dengan konteks zaman dan dikaitkan dengan kemampuan akal manusia serta ketinggian budaya serta ketinggian ilmu yang dimiliki oleh setiap umat ?
Ya, betul itu, ya dari pengalaman seseorang, ya dari keilmuannya, dari latar belakang pendidikannya, dari pengelaman-pengalaman kehidupannya juga dari mental orang tersebut. Maka dengan kemampuan orang tersebut memahami dan mengkaji Alqur’an terjadilah tafsir. Umpama tafsir Ibnu Katsir, beliau murid dan pengagum dari Ibnu Qoyyim dan Ibnu Taimiiyah, meskipun mazhabnya Syafi’i. Jadi ada kolaborasi dari Syafi’I dengan yang ekstrim antara Ibnu Qoyyim dan Ibnu Taimiyah. Cara penafsirannya kalau Ibnu Katsir lebih banyak menafsirkan secara Qur’an dengan Qur’an, Qur’an dengan Hadist dan suatu saat beliau juga mengambil hal-hal dari luar,  cerita-cerita Israiliyat, begitu. Kadang-kadang hukum masuk didalamnya, sangat di rinci, karena mazhabnya Syafi’I, ada kolaborasi tertentu

Dari sekian warna, bagaimana cara memilihnya yang paling afdol ?
Yang paling afdol adalah yang mengambil dari Alqur’an dan Hadist, semua kalau sudah bermuara pada keduanya itu Afdol. Cuma kadang-kadang kita yang  menafsirkannya beda-beda, umpamanya salah satu contoh, La yaa masru illal muthoharran, ini mengambil di ahya La yaa masru illal muthoharran, ada satu versi yang mengatakan bahwa ini hukum katanya. Ini bentuknya adalah hobariyah tapi yang dimaksud imsaiyah, hobariyah itu bentuk berita tapi itu perintah sebenarnya. Yaamasruhu, tidak menyentuh kepada Alqur’an kecuali orang-orang yang suci, maksudnya tidak menyentuh kepada Alqur’an, itu perintah kecuali orang-orang yang suci. 
Ada versi sahabat yang seperti itu dan diikuti ke bawah seperti mazhabnya imam Syafi’I, ada satu versi yang mengatakan bahwa tidak menyentuh kepada Alqur’an di Lau Mahfud kecuali mereka yang disucikan, para malaikat. Jadi satu mengatakan La yaa masru illal muthoharran, adalah orang yang suci yang ada di bumi, ada juga yang mengatakan dalam versi sufi, tasawuf maksudnya adalah tidak akan mengenai kepada hati atau tidak akan memahami hati kepada Alqur’an kecuali mereka yang disucikan hatinya. Seperti banyak dari kalangan orientalis bisa mempelajari Alqur’an, tapi tidah tersentuh untuk diberi hidayah dengan Alqur’an. Karena La yaa masru illal muthoharran, itu maksudnya. 
Ada lagi versi di Syiah, La yaa masru illal muthoharran, itu tidak bisa menafsirkan Alqur’an kecuali mereka yang disucikan. Yang bisa menafsirkan Alqur’an itu orang yang disucikan oleh Allah SWT dan nashnya ada dalam Alqur’an, yaitu imam yang 12. Jadi dari satu sama lain kadang-kadang Alqur’an ditafsirkan menurut versinya dan saling mengklaim. Saya kira, itu benar semua. 

Sikap apa yang mesti dilakukan dengan berbagai perbedaan tersebut ?
Kita punya nurani, kita bisa berguru karena kita punya orang-orang yang ahli di sekitar kita. Andaikata mereka dalam menafsirkan Alqur’an keliru, maka mereka akan mendapatkan satu pahala. Dan apabila mereka menafsirkannya Alqur’an ijtihajnya benar, maka mereka akan mendapat pahala dua. Meskipun mereka mengklaim benar belum tentu menurut Allah SWT yang paling benar. Cuma nanti keputusannya di sisi Allah SWT. Semua diantara mazhab saja kadang-kadang kontradiksinya terlalu tajam, sebagian membatalkan, sebagian tidak membatalkan, contoh kecil, wudhu. 
Di antara para mazhab yang mu’takmat banyak yang berbeda, seperti dalam nikah. Ada sebagian kalau sahid harus pada waktu akad. Tapi kalau di Malik tidak pada waktu akad, tapi pada waktu masuk, kumpul dengan istrinya, itu ada sahid. Ada yang wali cukup dengan dirinya si perempuan, itu seperti Abu Hanifah, ndak usah wali ndak apa-apa. Meskipun konsekwensinya di antara pengikut imam Syafi’I, seperti Buhori, Muslim, perawi-perawi Hadist yang handal tidak mau menerima Hadist yang dirawikan oleh Abu Hanifah, karena perbedaan itu. Meskipun Abu Hanifah pada waktu itu cara beragumentasinya sangat pas. Ada lagi sahid tanpa wali, seperti Daud Dhohi, meskipun mazhab itu tidak begitu tersebar, tapi ada juga yang mau mengikuti mazhab itu. Padahal perbedaan itu sangat signifikan dalam kehidupan, tapi hal-hal yang seperti itu para ulama sepakat bahwa mereka itu saling dimaafkan, meskipun perbedaan sangat, sangat tajam. Tidak harus saling mengkafirkan satu sama lain, karena mereka dalam berijtihaj bukan untuk main-main tetapi sungguh-sungguh dengan seluruh nurani yang ada dalam hatinya, cuma nanti yang menentukan Allah SWT. 

Harapan Ustadz menghadapi berbagai perbedaan tersebut !
Kita harus saling menghargai, saling menghormati pendapat-pendapat orang lain, apa yang kita yakini, apa yang jadikan pandangan kita itu kadang-kadang tidak seratus persen benar. Tapi untuk mempertahankan prinsip itu perlu, mempertahankan pandangan-pandangan kita juga perlu, tapi juga tidak harus menafikan atau tidak menghargai pendapat orang lain. Karena Alqur’an itu unik, Alqur’an sangat universal, Qur’an itu bisa dipahami oleh semua kalangan baik kelas awam sampai cendikiawan. Alqur’an itu bisa dipahami sesuai dengan kapasitas berfikir yang dimiliki oleh seseorang.