Mimpi-Mimpi Di Siang Bolong

EL Er Iemawati

Konon katanya, Sumenep merupakan kota santri sebagaimana kota Jombang yang memiliki julukan kota agamis. Tentu saja atribut tersebut dikaitkan dengan jumlah pesantren yang cukup besar dan aktivitas serta kiprah lembaga non formal tersebut dalam bidang pendidikan, peningkatan SDM serta kualitas umat. Tentu saja kebanggaan muncul di setiap dada masyarakatnya, karena mempunyai reputasi cukup tinggi.

Barangkali kebanggaan tersebut akan surut secara perlahan ketika melewati jalan-jalan ruas protokol.  Kita akan dibuat takjub, terkesima bahkan ternganga dan melongo, bagaimana tidak ? Serpihan wajah yang mencerminkan sebuah kota agung hanya sebuah isapan jempol saja. Ternyata wajah  kota Sumenep penuh dengan make up yang belepotan. Kecantikan yang ditampakkan mengundang tanda tanya besar.  Benarkah ini cerminan dari masyarakat yang mengagungkan nilai-nilai budaya ?

Kalau tidak percaya, tataplah sejenak papan iklan yang terpampang, baik dalam bentuk besar ataupun kecil. Ruas jalan protokol telah menjadi ajang komoditas dengan nilai jual tinggi. Papan reklame dari berbagai produk terpampang, mengajak masyarakat berlomba-lomba melakukan budaya konsumtif. Paling mencolok adalah papan iklan produk rokok yang mendominasi jalan ruas protokol. Secara tersirat anda semua diajak untuk mencicipi produk tersebut, walaupun ada semacam himbauan, “Rokok menyebabkan kantong anda kempis”. Itulah magnet iklan, sebagaimana dalam jingle sebuah iklan di Televisi, “Pandangan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda”.

Hal itu sah-sah saja karena iklan merupakan salah satu jurus paling jitu untuk menaikkan omset penjualan. Dan hal itu sah pula dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan pemasukan PAD di era Otonomi Daerah. Karena belanja tahunan DAU yang dikucurkan Pemerintahan Pusat belum tercukupi. Sehingga Pemerintah Daerah harus pintar mengelola serta menambal sulam berbagai kebutuhan pembangunan.

Bukanlah sebuah kejahatan ketika proses pengelolaan dan alokasi pembelanjaan menjadi menyimpang, karena sudah melewati sidang-sidang panjang melelahkan serta menguras energi. Dan bukan pula sebuah kejahatan ketika kepentingan rakyat kecil yang miskin dan papa di nomor duabelaskan. Hal itu sah-sah saja karena kepentingan golongan harus diprioritaskan, karena merekalah yang memberikan andil besar sampai mereka duduk di kursi empuk dewan dan menjadi penentu kebijakan. Kata orang, masa reformasi ini para pemimpin semakin berani mengeruk dana rakyat dan katanya pula, praktek KKN semakin marak dan telanjang (barangkali kata orang se ta’ melo). Dan kata mereka (anggota Dewan) hal itu sah-sah saja karena telah melalui mekanisme yang benar.

Berbicara tentang pembangunan, sebagaimana kelanjutan pemerintahan sebelumnya hanya memprioritaskan pada pembangunan fisik semata. Era reformasi yang digadang-gadang serta menjadi harapan besar adanya perubahan ternyata jauh panggang dari api. Mayoritas rakyat kecil belum bisa menikmati pemerintahan yang dipilihnya sendiri melalui pemilu. Mereka tetap menjadi masyarakat golongan pinggiran dan dipinggirkan.

Kalau mau jujur banyak sekali peluang emas untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (terutama untuk masyarakat petani, buruh, nelayan, calon TKW/TKI, ataupun pengangguran), kalau saja para pemimpin lebih peka menangkap kebutuhan mendasar yang didambakan oleh rakyat. Bukan hanya pemberian modal, tapi lebih menitikberatkan pada proses pengembangan sumber daya manusia. Dalam berbagai bentuk pelatihan dan pendampingan oleh tenaga ahli dan terampil dibidangnya. Melalui program tersebut yang dilaksanakan secara terus menerus, kontinyu dan berkesinambungan, minimal meningkatkan pengetahuan masyarakat. Dengan demikian masyarakat semakin pintar dan kreatif dalam mengelola sumber daya alam yang melimpah.

Kalau saja para Pemimpin menyadari betapa wilayah Sumenep memiliki kekayaan melimpah. Garis pantai memanjang yang mengelilingi Sumenep dan pulau kecil lainnya, barangkali merupakan garis pantai paling panjang. Pantai sepanjang ribuan kilometer tersebut mempunyai potensi besar untuk dikembangkan, budidaya ikan dengan nilai ekspor (kepiting, kerapu, kakap) ataupun budi daya rumput laut. Disamping itu pantai yang membentang panjang  dari ujung timur sampai utara (Dungkek – Pasongsongan) merupakan pantai elok, apabila dikelola dengan benar akan menjadi tujuan wisata yang menawan. Belum lagi hasil laut yang melimpah ruah, di samping hasil laut dapat di konsumsi langsung sekaligus bisa memproduksi hasil sampingan.

Produk sampingan hasil laut sebenarnya sangat banyak, asalkan masyarakat lebih kreatif dalam pengelolaan. Tengok saja barang dagangan makanan kecil (snack) yang bergelantungan di toko-toko (di kota/pelosok), hampir 90 % adalah produk import dalam negeri. Cita rasa yang tinggi dan enak serta kemasan yang bagus ternyata mampu menyedot kocek kita untuk tertarik membelinya. Tentu saja anda tahu bahan mentah untuk produksi tersebut melimpah ruah di Sumenep. Uraian di atas merupakan salah satu contoh yang memberikan indikasi bahwa sumber daya manusia di Sumenep masih sangat rendah. Andaikan saja (hanyalah mimpi), para pemimpin memprioritaskan peningkatan dan pengembangan sumber daya manusia maka akan tercipta lapangan kerja yang sangat besar.

Kalau berbicara tentang pembangunan maka muara akhir adalah menuju kesejahteraan dan kemakmuran. Ini menandakan hanya satu sisi saja yang mendapatkan prioritas, yaitu peningkatan ekonomi. Karena begitu menggebu-gebu dalam mengejar target, sehingga sisi manusianya menjadi terlupakan. Barangkali membangun masyarakat (manusia) lebih sulit daripada mendirikan gedung pencakar langit. Itulah sebabnya para Nabi dan Rasul menjadi penggembala terlebih dahulu sebelum diangkat menjadi seorang pemimpin agama. Proses selama menjadi penggembala inilah yang akan mematangkan kepribadian, menjadi manusia yang paling paripurna dan siap terjun untuk menggembalakan umatnya.

Membangun masyarakat menjadi manusia yang humanis membutuhkan ketahanan, ketabahan dan kesabaran luar biasa. Salah satu contoh adalah bagaimana menggiring masyarakat agar menjadi masyarakat yang berbudaya, tertib, cermat, teliti, disiplin, tidak mau sogok dan menyogok, amanah, jujur, haus ilmu, gemar membaca, menyukai kebersihan dan keindahan, tepat waktu,  serta mempunyai kepekaan sosial yang tinggi. Dengan demikian masyarakat akan menjadi masyarakat yang terampil, kreatif dan mampu mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungannya.

Barangkali disinilah peran para pemimpin (formal/informal) dipertaruhkan, karena dalam masyarakat yang masih menganut budaya paternalistik Pemimpin merupakan sosok panutan yang sangat dipatuhi. Tak harus banyak bicara para Pemimpin cukup memberikan contoh dan menjadi teladan yang baik, sebagaimana pernah diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun kerso dan tut wuri handayani), artinya “Di depan memberikan teladan, di tengah mengikuti, di belakang memberikan semangat”.

            Sebagaimana pada awal tulisan yang menyentil permasalahan iklan, barangkali ini salah satu contoh nyata yang membingungkan. Sumenep sama sekali tidak mencerminkan wajah cantik kota santri dan kota budaya. Dibandingkan dengan tetangga Pamekasan, para Pemimpin dan pengambil kebijakan di Pamekasan lebih peka. Sepanjang ruas jalan terdapat beberapa tulisan  kalimat toyyibah, berisi bermacam himbauan untuk selalu ingat berbuat kebaikan dan menjadi umat yang baik.

            Barangkali ini hanyalah sebuah mimpi di siang bolong, kalau saja wajah kota Sumenep diganti make-up agar lebih cantik sehingga mencerminkan  kota santri dan kota budaya. Dan kalau boleh usul papan-papan besar terpampang berisi kalimat-kalimat toyyibah, lukisan kaligrafi, papan-papan obyek wisata budaya menghiasi sepanjang ruas jalan protokol. sehingga hembusan angin sejuk reformasi membawa dampak kepada masyarakat. Minimal mendidik dan mengajak masyarakat (secara tak langsung) meninggalkan budaya konsumtif. Pada akhirnya bersama-sama bergandengan tangan, bahu-membahu, merapatkan barisan, untuk membangun sebuah peradaban tinggi.

            Saat ini merupakan moment yang paling tepat, karena pemerintahan yang terbentuk merupakan pilihan rakyat. Diharapkan para Pemimpin sekaligus pengambil kebijakan benar-benar peka dan tidak menyelewengkan amanah yang diberikan rakyat. Mudah-mudahan ini bukan sekedar mimpi, karena adanya sebuah indikasi memasuki purna tugas para pengambil kebijakan (anggota dewan) sedang memperjuangkan menggelembungkan pendapatan pribadi, jauh lebih besar dari pendapatan tahun sebelumnya serta ditambah uang pesangon. Sementara rakyat cukup menggantang asap dan menikmati mimpi-mimpi indah., “Kacian deh lu!

Februari 2004