Ujung Jalan Bulan Mei, Untukmu Guruku

 Sunarto
  
Hardiknas, Harbuknas dan Harkitnas tiga hari yang memiliki makna dalam pada dunia pendidikan. Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 mei, mengenang sosok tokoh pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantoro ( pendiri Taman Siswa, Bapak Pendidikan Nasional). Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani merupakan tuntunan utama tenaga kependidikan. Secara psikologis, ketauladanan, sumber inovasi, pemberi semangat dan peran sebagai motivator harus dimiliki guru dalam melaksanakan profesi keguruannya.

Sosok pengabdian “guru”di sekolah, jarang  jumpai lagi di masyarakat. Tak lagi ada sebutan “Pak Guru” atau “Bu Guru” setelah keluar pagar sekolah. Profesi guru bukan lagi dianggap profesi mulia, tidak lagi tanpa tanda jasa, hilang sosok sederhananya, sama dengan profesi lain atau mungkin tidak perlu lagi di gugu dan ditiru. Disekolahpun murid lebih nyaman memanggil Pak A, Bu X atau Om Y. Jarang kita dengar lagi, “ya Ibu”, “ya Bapak” ketika mendengarkan nasehat gurunya. Pendidikan budi pekerti melalui pendidikan bahasa dan tata berpakaian semakin diabaikan. 

Tidak harus menentang perubahan, lebih bijak menyikapi kemajuan. Contoh kurang mendidik telah jadi lumrah. Perguruan tinggi mengadakan klas jauh yang serba instant. Pendidikan guru tidak lagi mengutamakan etika keguruan, dasar-dasar kependidikan, psikologi perkembangan dan terbatasnya waktu praktek mengajar. Suatu kemunduran pola pendidikan guru pada era 80an, yang lebih mengutamakan bagaimana mendidik ketimbang  mengajar. Seleksi pengambilan guru juga tidak ada test khusus kemampuan  mengajar. 

Mengapa keterpurukan pendidikan hanya laris dijadikan slogan, promosi dan kampanye?  Masyarakat sadar pendidikan penting, tapi banyak lupa bahwa pendidikan tanggungjawab bersama. Setiap menjelang peringatan Hardiknas slogan terpampang dipiggir jalan, tanpa pemahaman makna oleh siapapun. Sulit ditemukan lagi gerakan sukarela sosial actions , kecuali rekayasa. “Gebyar Hardiknas” dan “Gebyar PTKPNF” tidak lebih pamer kemasan sesaat, hamper tidak ditemui suatu inovasi “Guru” yang menggambarkan keutuhan profesi dan memiliki kebenaran ilmiah. Calon pejabat dan pimpinan daerahpun mengkambinghitamkan keterpurukan pendidikan untuk mempengaruhi massa, janji dan lupa visi.  Dari mana kita harus mulai jujur dan berani  untuk tidak melakukan pembodohan?

Harbuknas ( Hari Buku Nasional) yang diperingati setiap 17 mei, sering terlupakan oleh insan pendidikan. Secara fisik buku merupakan sarana dan bahan belajar. Lebih mendalam, buku bermakna sebagai guru tidak bernyawa. Buku dapat dibaca, dipahami dan digunakan si melek huruf. Refresing, menggali informasi, ide, dan pengalaman baru dapat diperoleh dengan mengeja huruf.

Masyarakat gemar membaca menjadi hayalan. Si ekonomi lemah harus memutar otak untuk yang dimakan esok hari, sopir angkutan harus kebut-kebutan mengejar setoran,  seorang guru harus bekerja sambilan untuk mencicil tingginya fasilitas perumahan. Bencana pendidikan akan tiba apabila  guru jarang membaca buku, lingkungan sosial, perkembangan teknologi, keterpautan kebutuhan lokal dan nasional (KTSP). Akreditasi dan sertifikasi para tenaga kependidikan yang berujung pada rupiahpun tidak dapat dipastikan akan menaikkan kompetensi, sikap terhadap profesi ataupun kinerja sebagai dewa penolong untuk mencerdaskan bangsa.

Hari Buku Nasional banyak diapresiasi penerbit buku ketimbang guru. Penerbit dan pengarang lebih sibuk mempersiapkan peluncuran buku baru, untuk mencapai target penjualan. Sementara buku sekolah dirasa masih sangat mahal. Kesulitan penyelenggaraan pendidikan masih diperburuk rendahnya dukungan pemerintah daerah terhadap perpustakaan. Sementara anak di rumah lebih termanjakan dengan menariknya acara televisi, game-net dan fasilitas layanan hanphone. Apakah memang budaya mendengarkan dan menonton masih lebih dominan daripada membaca ?

Pada tahun 1908, Di kampus Stovia Jakarta, Dr. Wahidin Soedirohoesodo, Dr. Goenawan dan Soewardi Soerjodiningrat mendirikan sebuah organisasi kebangsaan bernama Boedi Oetomo. Boedi Oetomo, saat itu, merupakan sebuah organisasi modern dengan cara pandang kebangsaan yang baru dan berbeda. Setelah melalui ‘pengembaraan mental’ yang intens, mereka menangkap sebuah visi bagi bangsa ini, yakni menggagas sebuah bangsa yang memiliki identitas diri.

Harkitnas yang ditandai lahirnya Boedi Oetomo, merupakan tonggak kesadaran bangsa kita untuk bangkit (waktu itu penjajahan) dan kini keterpurukan. Lebih satu abad Harkitnaspun belum banyak mengubah citra mental bangsa. Budaya konsumtif lebih kuat dibanding produktif, menonton lebih enak daripada jadi pemain dan mendengarkan dongeng lebih disukai dari pada membuat karya. Semangat juang, membangun, tegakkan kejujuran dan ciptakan keselarasan dalam hidup masih semu. Kita terbuai dengan abstraksi ideal (keadilan, kemakmuran, demokrasi), jarang membumi sebagai realita yang dirasakan masyarakat.  

Seakan kita menjadi bisu dalam hirukpikuk “PilPres”, “PilGub”, “PilBup” atau “Pilkades” dan kecemasan hasil Unas. Tenaga pendidikan dan pengguna jasa pendidikan belum sadar sepenuhnya bahwa ujian  hanya sebagai salah satu alat pengukuran dan evaluasi, bukan satu-satunya takaran keberhasilan. Lulus Unas bukan tujuan akhir. Mungkin kita kurang mendalam memahami semangat standar kompetensi, life skills, pendidikan alternative dan pendidikan sepanjang hayat .

Menjelang ujian, sekolah menciptakan ketegangan sosial. Wali murid klas tiga diundang sekedar dengarkan cerita kepala sekolah tentang ujian, seremonial doa bersama dan binsus mata pelajaran. Semakin langka kegiatan belajar kelompok ditempat yang lebih demokratis (homescooling). Anehnya, perpustakaan daerahpun belum menjadi menu pilihan bagi siswa untuk belajar dan rekreasi edukatif.
Sekolah semakin kaku, bersifat rutinitas  dan diatur pola mekanik. Semakin banyak siswa yang tidak tahu jumlah kecamatan dikabupatenya, berapa jumlah penduduk desanya, kejadian penting dilingkungan sebagai pengalaman sosial dan lupa bahasa daerahnya. Sangat langka tertampangnya gambar Ki Hajar Dewantoro di dinding sekolah, walau hanya sekedar untuk mengingat.

Kecenderungan mengarah para rasa enggan mengembangkan kurikulum local sebagai bukti perjuangan (bukan copy paste), orang tua mengatur jadwal kursus di luar jam sekolah untuk membunuh kreatifitas dan waktu bermain. Belumkah kita dapat menterjemahkan Standar kompetensi, standar isi  dan alokasi waktu dalam kalender pendidikan agar tidajk menimbulkan situasi was-was menjelang ujian? Kapan pengelola  pendidikan didaerah membimbing pengembangan KTSP dan mengadakan evaluasi kurikulum secara rutin untuk menangkap kebutuhan pasar?

Secara kronologis, makna hari-hari  tersebut cukup logis, Pertama, Hardiknas maknai dengan peningkatan kesadaran pentingnya pendidikan (2) Harbuknas, mengajak kita menggunakan buku agar mampu membaca diri, lingkungan dan belajar dari orang yang lebih tahu (anggap saja penulis lebih pinter dan bijak dibidangnya). (3) kesadaran pentingnya pendidikan, membaca sebagai dasar memahami realita, kemudian bangkit untuk membangun diri kita, keluarga kita,  lingkungan kita dan bangsa kita.

Ibarat bulan romadlon bulan suci umat Islam, bulan Mei adalah bulan instropeksi bagi guru dan tenaga kependidikan dalam mengabdikan diri di jalur pendidikan. Pelaksanaan tugas diuji dengan Unas untuk perencanaan dan perbaikan tugas pada tahun berikutnya. Sangatlah kurang terpuji dan teruji apabila guru ikut melakukan kecurangan dalam ujian. Mari sadari bahwa pendidikan adalah proses yang humanistic. Ketajaman membaca kebutuhan belajar siswa, sebagai dasar pembentukan masa depan. Dangan semangat memberantas ketertinggalan, mari bangkit untuk menciptakan keunggulan.

Kebiasaan seremonial berupa upacara memang perlu, tapi akan lebih bermakna mengutamakan penanaman nilai, pemberian semangat dan pemeliharaan perkembangan generasi penerus. Mengapa tenaga kependidikan belum ada yang mengemas  rangkaian hari bersejarah bulan mei ini dalam sajian edutainment, infotainment dan actiontainment yang dilandasi pilar-pilar pendidikan secara terpadu agar gampang dipahami  pengguna jasa pendidikan? 

 Sunarto, MHs S3 UNY, Karyawan UPT SKB Sumenep