Betapa Miskin-nya Kita

Akhir-akhir ini BBM (Bahan Bakar Minyak) menjadi sangat populer. Dalam hitungan detik dan menit, kata BBM melintas demikian gencar dalam lintasan batok kepala. Apalagi di berbagai media, baik media masa maupun media elektronika kata  BBM menjadi konsumsi publik  yang mampu menggetarkan perasaan dan jiwa. Mendengar kata BBM membuat nyut-nyut kepala, panas dingin, dan pendaman rasa amarah sekaligus melunglaikan seluruh persendian tulang. Bagaimana tidak ? Kenaikan harga BBM yang sangat tinggi, mencapai kisaran 100 % membawa beban hidup semakin sulit. Kenaikan tersebut menohok ulu hati berjuta-juta masyarakat, khususnya masyarakat ber-ekonomi lemah.
Tak dapat dipungkiri, mau tidak mau, suka tidak suka langkah tidak populis tersebut menjadi buah simalakama. Baik kepada Pemerintah yang mengambil kebijakan maupun masyarakat luas yang harus menerima dampak dari kenaikan BBM.  Dapatlah disaksikan di media elektronika dampak langsung yang membuat kehidupan rakyat semakin kembang kempis, sengsara, dan merana. Sementara janji Pemerintah untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat tidak mampu masih belum merata dan belum dinikmati oleh masyarakat pemanfaat. Di samping itu ada indikasi terjadi penyelewengan data, sehingga yang ber-hak menerima harus gigit jari.
Tiba-tiba sebuah kesadaran menyeruak di benak, gejala-gejala apakah ini ? Mengapa bangsa yang katanya kaya raya, gemah rimpah loh jinawi  terpuruk demikian dalam. Analogi apakah yang paling tepat menggambarkan kondisi bangsa ini ? Apakah ini sebuah karma ? Sebuah hukuman akibat kelalaian semua anak bangsa ?  Terutama para pemimpin yang telah menyelewengkan amanah ? Atau para penyelenggara pemerintahan yang tamak, korup,  super ego, nepotis dan materialistis ? Atau kepada seluruh anak bangsa yang apatis, egois, materialis dan hedois ?  Ataukah pada rakyat miskin, baik yang miskin secara struktural maupun kultural  ?
Pertanyaan beruntun itu mengambang melintasi cakrawala, menembus ruang dan waktu.  Mengapa kita semakin miskin ? Terutama rakyat yang nota bene penghuni terbesar nusantara ini ? Secara kultural dan struktural kemiskinan itu telah menjadi bagian kisah perjalanan panjang . bagaimana mereka akan ter-entas dari kemiskinan itu kalau akses untuk  mendapatkan peluang tersebut sangat sempit, bahkan buntu ? Adalah sebuah impian apabila anak yang cerdas terlahir dari keluarga kurang mampu dapat menggapai cita-cita dan impian. Atau si fulan yang miskin mampu mendapatkan pengobatan dengan baik dan penuh perhatian ? Inilah sebuah realita yang sangat pahit, dan harus ditelan bulat-bulat. Sebuah realita sekaligus kesaksian, betapa miskinnya kita.
Akibat kemiskinan tersebut segala sesuatu yang berkenaan dengan pelayanan publik telah menjadi komoditas. Ya sebuah komoditas. Mulai dari yang paling kecil di lingkungan kerja, lingkungan pendidikan, lingkungan pelayanan publik, mencari pekerjaan, masuk di Perguruan Tinggi favorit, menjadi Polisi, Tentara, Bidan, dokter, pejabat, bahkan juga menjadi guru. Proses komoditas tersebut demikian membudaya dan sulit dilacak atau pun ditelusuri. Ibarat penyakit kanker ganas, menggerogoti secara perlahan dan mematikan.
Akibat kemiskinan yang membudaya, tanpa rasa bersalah banyak sekali oknum tanpa malu mengambil sesuatu yang bukan hak-nya. Bukan nyolong terang-terangan, tetapi  dengan cara memalsu, mark up dan menggelembungkan data. Bahkan simbol-simbol (termasuk agama) menjadi alat ampuh untuk mengelabui  dan mensyahkan laku perbuatan dholim.  Dan anehnya perilaku semacam itu telah menjadi sebuah pembenaran umum. Pejabat misalnya, akan di pandang sebelah mata kalau tidak mampu menunjukkan keberhasilannya menumpuk harta benda dan kemewahan.
Akibat kemiskinan  mental dan hati nurani dapat disaksikan pada saat masyarakat di rundung nestapa, ketika harga-harga mulai melambung naik, yang berduit berlomba memborong  barang-barang kebutuhan, dan banyak dari pedagang menimbun barang. Akibat miskin keimanan penyakit sosial merajalela, perbuatan biadab menjadi hal biasa, dan akibat kemiskinan ilmu maka  menjadi umat yang terbelakang, dan terpecah-belah. Kemiskinan mendekati kekufuran, bahkan  pepatah mengatakan, “orang bodoh menjadi makanan  orang pintar.”
Miskin harta belum tentu miskin jiwa, dapatlah disaksikan dalam realita kehidupan sehari-hari komunitas masyarakat menengah-kebawah adalah masyarakat yang hangat, peduli, penuh perhatian dan mempunyai jiwa sosial tinggi. Sifat inilah yang mestinya ditumbuh-suburkan serta disebarkan di semua kalangan, sehingga menjadi sebuah budaya. Budaya kaya, kaya hati, kaya kasih sayang, kaya kepedulian, kaya iman, kaya ilmu, kaya pengetahuan, dan kaya perjuangan. Dan kekayaan tersebut menjadi media ampuh untuk memberantas kemiskinan, baik kemiskinan struktural maupun kultural.