Pilkada dan Pil KB



Apa beda Pilkada dan pil KB ? Pertanyaan usil dan kocak tersebut dilontarkan oleh Asmuni kepada Yuk Salma. Yuk Salma terhenti dari kesibukannya sejenak, memandang Asmuni dan kemudian tertawa lirih. Yuk Salma sangat mengerti bahwa langganannya ini akan mempermainkan dirinya. Seringkali ia mendapat pertanyaan-pertanyaan konyol, sekedar menggoda ataupun membuat suasana menjadi hangat, maklumlah kehidupan semakin sulit saja. Suasana yang hangat dan riang akan sedikit membantu menghindar dari tekanan stres.
Asmuni kembali mendesak jawaban dari Yuk Salma, sepengetahuannya pil KB adalah sejenis obat yang sudah tidak asing lagi bagi kaum perempuan. Butiran-butiran pil tersebut berbentuk bulatan-bulatan kecil dan menjadi menu yang harus dikonsumsi apabila seorang perempuan (ibu) tidak ingin bunting. Obat ini khusus untuk ibu, sebab yang mendapat job untuk hamil adalah kaum ibu, bukan bapak, ujar yuk Salma tergelak. Namun ketika didesak tentang perbedaan pil KB dan Pilkada, Yuk Salma hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala. Sebenarnya ia sering mendengar kata-kata tersebut dari siaran radio, namun sama sekali tidak mengerti.
Yuk Salma hanya tersenyum kecut ketika mendengar penjelasan Asmuni, bahwa Pilkada dan pil KB tidak ada hubungan sama sekali. Hanya nama awal kata sama, yakni pil, pil yang satunya adalah mencegah reproduksi, dan pil satunya adalah sebuah pemilihan. Yaitu pemilihan langsung yang akan menjadi menu masyarakat di era Otonomi Daerah, yaitu pemilihan Kepala Daerah alias memilih Bupati. Pilkada akan memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk memilih pemimpin. Seperti pemilihan Presiden tempo hari. Penjelasan Asmuni tersebut mendapat sambutan hangat dari langganan Yuk Salma, ada yang serius, ada yang hangat-hangat tai ayam bahkan ada yang sangat apatis.
Yang serius menyambut antusias pemilihan langsung, dengan demikian proses demokrasi semakin mantap aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian berbagai batu sandungan akan menjadikan cacat dalam proses tersebut, apalagi masyarakat masih kental dengan budaya paternalistic. Salah satu indikasi yang sangat kuat berkembang adalah dicalonkannya figur-figur yang dianggap tidak mampu atau kualitas calon pemimpin tersebut diragukan. Oleh sebab itu masyarakat harus mencermati dengan jeli dan teliti figur calon pemimpin yang akan dipilihnya. Jangan sampai terperosok memilih calon pemimpin yang hanya mempunyai kharismatik saja, namun tidak memiliki kemampuan memimpin, jujur, amanah, ahli dalam pemerintahan, mempunyai  wawasan, pendidikan dan pengetahuan yang memadai serta mengerti kemauan rakyat dan mampu  mengatasi aneka persoalan yang ada.
Di samping itu, Asmuni menambahkan untuk memilih figur yang ideal jangan sampai tergiur pada iming-imimg uang. Karena saat ini isu yang paling hangat adalah indikasi kuat politik uang, meskipun aroma politik uang ini tercium namun sulit sekali untuk proses pembuktian. Sulitnya pembuktian tersebut karena aroma suap ini dikemas demikian rapi dalam berbagai bentuk, misalnya pembangunan prasarana yang dibutuhkan masyarakat, pembagian doorprize dan pemberian bantuan. Oleh sebab itu calon pemimpin dan rakyat pemilih harus benar-benar mempunyai komitmen yang kuat untuk bersama-sama memberantas politik uang dalam upaya membangun mental yang sehat.
Penjelasan Asmuni mendapat cibiran dari pendengar yang apatis, karena menurutnya saat ini calon pemimpin yang diusung oleh Parpol cenderung sentimen kedaerahan dan lebih tendensi pada latar belakang agama. Para pemimpin informal yang terjun pada politik praktis, menurut pengamatannya kurang mampu mengadopsi keinginan dan kemauan rakyat. Kecenderungan cara memimpin lebih ber-aroma politik, daripada penguasaan teknik di lapangan. Dan itu berakibat kedodoran disana-sini. Keberhasilan pembangunan hanya dilihat dari konteks keberhasilan pembangunan prasarana saja, tak berbeda dengan jaman Orba. Dan bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa KKN semakin tumbuh subur. Menurutnya ia sangat mendukung gerakan Golput yang ditunjukkan oleh sebagian Kiai untuk tidak memilih pemimpin dari kalangan Kiai. Berikan saja kepada figur yang kompetensi, baik dari segi pendidikan, keilmuan, kepemimpinan dan keahlian.
Secara menggebu-gebu orang tersebut memberikan uraian bahwa sahwat kekuasan para pemimpin informal  yang diusung sejumlah Parpol membingungkan sekaligus memicu konflik dalam masyarakat. Dan saat ini banyak Kiai yang tidak segan-segan “turun gunung” serta campur tangan menunjukkan figur yang seharusnya dipilih menjadi pemimpin. Dan itu berakibat rakyat tidak leluasa memilih pemimpin yang dianggapnya mampu untuk melakukan perubahan dan perbaikan. Rakyat tidak pernah diajak untuk berpikir kritis, yang ada hanya diajak untuk tunduk dan patuh, kalau disuruh ke kiri ya ke kiri, diajak kanan ya ke kanan, seperti Kerbau dicocok batang hidungnya. Dan yang paling parah terjadi perselisihan dan persaingan dalam masyarakat, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Yuk Salma tergelak-gelak, ia ingat awal percakapan dengan Asmuni yang dimulai dari pil KB. Baginya percakapan para lelaki langganannya sangat membingungkan. Begitu antusias mereka berdiskusi, bahkan terkadang saling berteriak untuk membenarkan pendapatnya. Tapi Yuk Salma sangat senang, dengan demikian lesehan yang digelar semakin ramai dan kopi yang dijualnya semakin laris. Ia tak peduli apakah itu pil KB, pil jantung, pil Parameg. Bahkan ia juga tidak tahu siapa yang akan dipilihnya nanti, pada saat pencoblosan. Tentu saja ia menunggu petuah dan petunjuk dari  Kiai-nya. Siapapun yang ditunjuk oleh sang Kiai, maka figur itulah yang akan dipilih.