Apa yang Anda lakukan sebagai pengusaha untuk memutus mata rantai ini, apa memberikan suntikan dana ?
Kalau
dari pihak pengusaha, khususnya saya adalah mencari dan memberikan
pasar dan juga memberikan sistem pembayaran dikondisikan untuk bisa cash
and carry. Kita sudah berupaya, memang awal-awal kita ekspor keluar
negeri itu sistemnya memang agak susah. Kita sudah mulai sekarang ini
untuk mengupayakan payment sistemnya agar bisa cash. Awal-awal itu untuk
merintis memang menghutangkan mereka, bayar PP 50 %, 50 %-nya setelah
barang sampai, yang memakan waktu sekitar satu bulan. Perjalanan kapal
saja 15 hari, masih inspect barang di pabrik makan waktu 5 hari. Nah
jatuhnya itu 1 bulan, nah Alhamdulillah saya sudah bisa mengkondisikan
pihak Bayer memberikan payment sistem lebih bagus.
Menurut Anda, apakah Pemerintah Daerah sudah men-cover dan meng-akomodir kepentingan petani rumput laut ?
Saya
kira kepedulian pemerintah Sumenep sudah bagus, pembinaan secara teknis
termasuk juga bantuan berupa pinjaman kredit segala macam sudah jalan.
Saya rasa tinggal mengembangkan saja, minimal menambah jaringan-jaringan
pembudidaya. Nah yang sudah saya lihat ini berupa kelompok-kelompok
pembudidaya termasuk juga di kepulauan masih belum tergarap. Saya
berharap untuk pembinaan semacam itu jangan hanya dilakukan di Sumenep
daratan, saya pakai istilah daratan adalah sentra rumput laut yang ada
di Dungkek, Talango, Saronggi maupun Bluto, jangan terfokus pada daerah
ini. Justru potensi terbesar adalah di daerah kepulauan. Kalau bicara
produksi, total produksi di kepulauan adalah 60 % dari total produksi
di Sumenep
Ini menandakan bahwa budidaya rumput laut akan mampu mengangkat perekonomian masyarakat pesisir ?
Benar,
kalau kita melihat pasar ekspor-nya, di dunia ini nomor 1 supleyer
terbesar adalah Filipina, di Filipina dalam kondisi sudah tergarap 90
%. Nomor 2 adalah Indonesia, namun Indonesia masih belum tergarap
sekitar 80 %, artinya baru 20 % lahan yang masih bisa dipakai. Nah, ini
sangat berpeluang besar untuk meningkatkan produksi, karena Indonesia
menurut data yang ada masih 20 % yang tergarap. Sehingga sisa 80 %, dan
Insya Allah akan lebih bagus lagi dari Filipina kalau penanganannya dari
managemen pengelolaan dan SDM dan SDA-nya maksimal dan optimal.
Negara mana saja yang pernah Anda kunjungi dalam upaya menembus pangsa pasar ?
Kita
datang ke Hongkong selaku Bayer disana, dan yang kedua saya sudah
ekspansi di Xiamen terus Ouzo juga di Zizi di Tiongkok. Disana pangsa
pasar dan pabrik aslinya ada di kota-kota tersebut untuk pengolahan
rumput laut. Di Xiamen saja itu sentra industri rumput laut, kita sudah
bisa komunikasi dengan tiga pabrik yang di situ level-nya ada yang
medium, dan ada yang besar. Dari kapasitas produksi saja kita belum bisa
memenuhi, 1 pabrik membutuhkan bahan 600 ton/bulan, ada yang 1000
ton/bulan
Apakah produk dari Madura mampu memenuhi kebutuhan tersebut ?
Kita
belum mencapai 10 %, belum mencapai 10 %. Nah, ini sangat disayangkan
karena potensi sangat luar biasa, kita belum bisa memanfaatkan potensi
SDA yang ada, termasuk juga SDM. Kita harus bisa bersatu untuk membangun
kebersamaan dari masing-masing pihak, baik pembudidaya, baik
leader-nya, eksportir-nya. Saya harap untuk saling koordinasi dalam
upaya membangun dan meningkatkan produksi rumput laut di Madura,
khususnya di Sumenep
Langkah-langkah yang Anda lakukan apakah bisa memotong mata rantai sistem yang ada ?
Jadi
dari kapasitas pabrik tersebut sangat besar dengan potensi pabrik itu
kita harapkan yang awalnya kita dulu merintis masuk pasar mereka kita
memakai broker, nah Alhamdulillah sekarang kita bisa langsung masuk
pabrik, artinya dengan konsekuensinya adalah nilai harga lebih bagus,
harga jual lebih bagus. Nah, ini juga harus dibarengi dengan
barang-barang yang kita bawa memenuhi standar mereka. Ini standar umum
yang mereka pakai adalah kadar air 35 %, usia tanam 45 hari, dan kadar
garam 2 %. Itu standar ekspor yang harus kita pakai.
Harapan-harapan yang perlu Anda sampaikan, baik kepada pihak Pemerintah maupun masyarakat petani ?
Yang
saya harapkan dalam jangka panjang, kita ingin sekali membikin semacam
asosiasi di situ untuk memudahkan komunikasi antara berbagai pihak, baik
pihak dinas selaku pembina di Sumenep juga pengusaha termasuk juga
pembudidaya, disini nelayan. Dengan asosiasi itu, kita punya sarana
komunikasi atau forum yang bisa setiap saat bisa mengkoordinasikan
antara pihak pembudidaya, pengusaha termasuk dinas. Disitu ada satu visi
yang sama sehingga kita akan bisa meningkatkan produksi dan kualitas
juga. Dengan demikian kita bisa membangun Madura ini akan menjadi pulau
garam dan pulau rumput laut, sebutan itu akan menjadi trade mark pulau
Madura.