Memperkenalkan Model Pengelolaan Sekolah

Lilik Rosida Irmawati 
Sejak diberlakukannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah pada 1 Januari 2001, lahirlah lingkungan politik baru dalam satu pemerintahan di Indonesia. Lingkungan politik baru ini ditandai setidaknya oleh tiga hal penting, pertama, ada otonomi nyata, luas dan bertanggungjawab yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Kabupaten/Kota.  Kedua, diterapkannya asas dekonsentrasi dan desentralisasi  terbatas pada provinsi. Ketiga, ada perubahan signifikan atas kedudukan dan peran DPRD. DPRD tidak lagi bagian dari Pemerintahan Daerah. Hal ini membawa konsekuensi, misalnya dalam pemilihan kepala daerah, proses pengawasan dan penganggaran daerah. Pendek kata, DPRD menjadi lebih berdaya (berkuasa) bila dibandingkan masa lalu.
Dalam kaitannya dengan pengelolaan pendidikan, lingkungan politik baru tersebut memberi kewenangan yang lebih luas kepada Pemerintah daerah Tingkat II untuk menangani urusan-urusan pendidikan. Bahkan sejak diberlakukan UU No. 22/1999, sebagian besar urusan pemerintahan di bidang pendidikan yang semula menjadi kewenangan pemerintah pusat, telah diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota. Sebagian lainnya diserahkan dan dilimpahkan kepada Pemerintah Propinsi.
Seiring dengan penerapan kebijakan otonomi daerah, di sekolah-sekolah mulai diperkenalkan dan diimplementasikan model-model pengelolaan sekolah yang baru dikenal sebagai Managemen Berbasis Sekolah. MBS merupakan model pengelolaan sekolah yang mengedepankan prinsip otonomi pendidikan dan partisipasi para pemercaya sekolah (stake holder), disadari atau tidak, implementasi MBS tersebut telah mendorong munculnya sikap kritis sebagian praktisi pendidikan terhadap kebijakan otonomi daerah di bidang pendidikan.
Lebih lanjut, dalam pedoman pelaksanaan otonomi daerah, disebutkan secara eksplisit bahwa kewenangan Pemerintah Daerah Dati II di bidang pendidikan meliputi, antara lain : menyusun Dan menetapkan petunjuk pelaksanaan pengelolaan TK, SD, SLTP, SMU, SMK; menetapkan kurikulum muatan lokal; mengadakan buku pelajaran pokok; melaksanakan akreditasi; dan melaksanakan kerja sama dengan luar negeri. Dengan kata lain, menurut ketentuan perundang-undangan, penentu otonomi pendidikan adalah Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota.
Dengan demikian, persoalan otonomi pendidikan dalam era otonomi sekarang sebenarnya lebih terkait dengan soal kemampuan masyarakat  pendidikan di daerah dalam mengidentifikasi dan mendistribusikan kewenangan untuk mengatur urusan-urusan tertentu dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah. Artinya, mengidentifikasi urusan-urusan pendidikan mana sajakah yang semestinya menjadi kewenangan birokrasi pemerintah daerah, sekolah dan kelas sehingga tercipta kondisi yang paling kondusif bagi terwujudnya peningkatan mutu pendidikan di daerah.
Terkait dengan itu, perlu ada upaya serius di kalangan masyarakat pendidikan di daerah untuk mencari formula yang pas dalam merumuskan urusan-urusan yang menjadi kewenangan masing-masing. Fiske  memberikan rekomendasi perlunya daerah membangun konsensus luas, untuk itu Fiske mengusulkan delapan langkah. Langkah-langkah tersebut  sebagai berikut :
Pertama, mengenali semua pihak yang terkait dan kepentingan-kepentingan mereka dengan cara membuat analisis yang cermat dan hati-hati mengenai semua  individu dan kelompok yang berkepentingan dengan formulasi kewenangan tersebut.
Kedua, sejauh mungkin formulasi tersebut dirancang dengan mempertimbangkan kekhawatiran-kekhawatiran utama dari berbagai pihak yang berkepentingan.
Ketiga, mengorganisir diskusi publik. Kebijakan baru yang paling berhasil adalah yang didukung oleh diskusi publik secara luas. Keempat, klarifikasi mengenai tujuan dari kebijakan baru. Hal ini penting untuk mendapatkan tentang visi bersama yang mau dicapai di antara para pelaku dari berbagai pihak yang berkepentingan.   Kelima, analisis terhadap perintang-perintang potensial. Keenam, menghargai peran dari berbagai pelaku yang berbeda-beda. Ketujuh, adanya pelatihan yang memadai untuk menyiapkan berbagai pihak yang harus memegang peran dan tanggung jawab baru. Kedelapan, mengembangkan sistem pemantauan.