Kenangan Hati

Pentigraf Lilik Soebari



Layla berjalan sembil menghitung langkah kaki, menelusuri jejak rekam kehangatan masa bocah. Gedung utama masih berdiri kokoh dan ketika melewati ruang kelas 6 suara lantang pak Hamzah memasuki lorong-lorong memori dan hangat senyumnya menari-nari di dedaunan pohon di halaman. Tiga puluh sembilan tahun telah berlalu, memoar pak Hamzah guru semasa sekolah dasar mengambang dan memuai seperti lengkung bianglala seusai hujan.

Layla kini mengikuti jejak pak Hamzah, sosoknya yang kharismatik menginspirasi. Semua yang pernah Layla peroleh diterapkan pada anak didiknya, cara mengajar, cara mengasuh yang penuh simpatik dan empati serta dongeng yang dikisahkan menggantung. Sepuluh menit sebelum pulang merupakan detik-detik yang ditunggu. Suara bariton pak Hamzah naik turun menghipnotis, berkisah tentang para nabi dan rasul, dongeng kancil atau kisah 1001 malam. Bagi Layla pak Hamzah seperti buku hidup, menerbangkan  angan dan imajinasi mengembara bersama awan berserakan dan menurunkannya kembali melalui warna-warni pelangi.

Mengenang pak Hamzah selalu menimbulkan kesedihan karena Layla merasa saat ini keikhlasan dan dedikasi mulai terabrasi. Betapa ketika kecerdasan anak dipilah dan dikotak-kotak serta mengabaikan proses utuh memanusiakan anak dalam tumbuh kembangnya. Ruang hati anak hanya dijejali untuk meraih angka dan pengetahuan menjadi panglima. Bahkan mereka tidak lagi mengenal betapa indahnya merajut persahabatan melalui permainan dan nyanyian. Namun kesedihan Layla sedikit terobati ketika desain pendidikan memasukkan karakter sebagai fokus, meski hal itu sedikit terseok-seok mengingat minsed para guru masih belum sepenuhnya memahami perubahan filosofi itu. “Roda selalu berputar sesuai kodrat dan perjuangan, yang penting ikhlas dan konsisten,” pesan motivasi pak Hamzah selalu terngiang dan terukir di langit hati.

Sumenep, 30 Desember 2016