Jejak Gemuruh Ombak


Pentigraf: Lilik Rosida Irmawati

Mat Toha terpaku menatap hamparan biru sejauh mata memandang. Angin bertiup kencang meliukkan batang kelapa yang menjulang tinggi dan pucuk-pucuk daun saling bersentuhan antara batang pohon yang satu dengan lainnya. Gemuruh menderu menyatu menghempas pantai. Ketika angin sedikit mereda Mat Toha berjalan kaki menelusuri sepanjang pesisir. Matanya nanar melihat sekeliling. Tak ada lagi jejak tersisa masa kecilnya. Pagar alam yang terbentuk ribuan tahun hanya menyisakan tonjolan karang-karang kehitaman.

Ada amuk amarah membuncah, tapi pada siapa? Bukankah gunung pasir kecoklatan itu telah mensejahterakan masyarakat dan dirinya? Mat Toha ingat betul bapaknya menjadi orang pertama serta paling rakus mengeruk pundi-pundi dengan cara semua orang wajib membayar upeti. Mat Hasan menjadi penguasa tunggal dan kaya raya. Padahal sebelum jadi bos rumah yang mereka tempati hanyalah deretan rumah tak layak huni. Sampai akhirnya truk-truk besar berdatangan menggali lalu mengangkut pasir ke kota, menimbun persawahan menjadi fondasi rumah-rumah elit serta pusat perbelanjaan. Bersama aparat Mat Toha menggelontorkan berton-ton kubik pasir.

Tak ada yang tersisa, gunung pasir setinggi 17 meter sepanjang kurang lebih tujuh kilo meter dari desa Padangdangan sampai Pasongsongan hanya tinggal sebuah kisah. Saat ini yang tertinggal hanya gemuruh ombak menerjang karang menghitam yang semakin lama tanah pembatas sepanjang jalan lintas pantai utara bergelontoran. Air laut mulai menggarami sebagian areal pemukiman dan itu berakibat sebagian penduduk membuka pemukiman baru di atas bukit. Kini bangunan megah yang didiami keluarga Mat Toha mulai tergerus. Hanya tinggal menunggu waktu menyatu dengan gemuruh ombak. 

Surabaya, 15 Agustus 2019