Seperti hal nya Ludruk, salah satu jenis kesenian di Jawa Timur, yang mengawali setiap pementasannya dengan “ngremo”,
topeng Dalang juga membuka pagelaran dengan penampilan tarian. Dalam
setiap pementasan, biasanya yang ditampilkan adalah jenis tarian sakral.
Setelah tari pembukaan, Dalang membuka dengan pemaparan
prolog/panorama. Kemudian disusul tembang-tembang Suluk, alunan tembang
ini mengantarkan para penonton untuk memasuki inti cerita yang akan
dipentaskan. Suluk dan dialog dalam topeng dalang Madura memakai bahasa
Madura halus. Untuk suluk pembukaan menggunakan bahasa Jawa kuno, hal
ini membuktikan bahwa topeng awalnya berasal dari satu sumber.
Dalam
setiap pertunjukan, tokoh utama yang menggerakkan semua pemeran adalah
dalang. Ki dalang sebagai pemimpin orkestra gamelan, menyajikan suluk,
narasi dan mengucapkan dialog. Dengan suaranya yang lembut, kadang
menghentak keras ki dalang memimpin penari-penari yang bergerak di
belakang topeng. Semua pemeran lakon/penari tidak berbicara, kecuali
Semar. Karena dialog dan nyanyian seluruhnya diucapkan oleh Dalang yang
duduk di belakang layar. Pada layar tersebut dibuat lubang kecil, dari
lubang berbentuk segi empat inilah Dalang mengisahkan lakon sesuai
dengan cerita. Di depan layar, para pemain lakon menyesuaikan dengan
gerakan-gerakan tari setiap alur cerita yang dikisahkan Dalang.
Setiap
lakon yang dibawakan, selalu sarat dengan gaung cinta, adegan heroik
ataupun beragam petuah bermakna filosofis kehidupan yang kental.
Ditambah dengan gerak tarian, terangkai dalam gerak yang kompleks.
Kadang-kadang gerakan tarinya halus, lemah lembut dan melankonis, lalu
berubah kasar, kaku dan sedikit naif, namun dibawakan dengan penuh emosi
yang ekspresif. Dalam setiap pementasan, penampilan para penari sangat
sederhana, tetapi ekspresif. Sekalipun setiap gerak tari agak naif dan
sedikit kaku, tetapi mengandung nilai spiritual yang tinggi. Dan itu
merupakan salah satu nilai plus, karena nilai-nilai yang terkandung
dalam setiap gerakan masih brilian, bersih dan otentik.
Adapun gerakan/gaya tarian yang dipakai dalam pertunjukan topeng Dalang ada beberapa macam, diantaranya: Tandhang Alos (tari halus), Tandhang baranyak (tari sedang), Tandhang ghalak (tari kasar) dan putri ( gerak penari perempuan). Masing-masing tandhang ini diiringi oleh gending-gending tersendiri. Tandhang Alos diiringi gending-gending Puspawarna, Tallang, Rarari, dan lain-lainnya. Tandhang Baranyak diiringi gending-gending, Calilit, Pedat dan Lembik. Sedangkan tandhang Ghalak diiringi gending-gending Gagak, Pucung, Kwatang Serang dan Gunungsari. Alat-alat musik yang dipakai adalah gamelan, ditambah crek-crek yang dipakai oleh dalang.
Nilai plus pada topeng Dalang Madura adalah suasana dengan nuansa magis yang dibangun oleh bunyi gemerincing gongseng.. Seolah-olah getaran gongseng
menyebar ke seluruh arena membentuk suasana yang diperlukan, baik
suasana sedih, gembira ataupun tegang. Apalagi ketika penari
menghentak-hentakkan kaki, sepanjang pertunjukan tak sepi dari suara ghungseng, apabila disimak memang suara satu dan lainnya memberikan ekspresi tersendiri.
Pada
masa lalu, lakon yang dimainkan dalam Topeng Dalang banyak mengambil
kisah Panji atau kisah-kisah seperti Damar Wulan. Namun dalam
perkembangannya, kisah-kisah yang dipentaskan saat ini banyak mengambil
cerita dari epik Ramayana dan Mahabharata, dengan ditambah
cerita-cerita carangan yang tokoh-tokohnya tetap merupakan tokoh-tokoh Ramayana atau Mahabharata.
Dalam
setiap pementasan kisah Mahabharata lebih sering ditampilkan. Karena
kisah-kisah dalam Mahabharata terdapat lebih banyak pertentangan,
perseteruan dan konflik. Konflik multi dimensi, dari masalah cinta,
perang saudara, perebutan tahta, ideologi maupun pertentangan antara
anak dengan orang tua, murid dengan guru, saudara dengan saudara.
Konflik-konflik tersebut dibumbui dengan adu kedigdayaan, baik berupa
senjata mustika maupun kesaktian yang dimiliki oleh para ksatria.
Sebagai
media dakwah, ceritera dalam epik Mahabharata telah dimodifikasi
demikian rupa. Tokoh-tokoh dan alur cerita tetap sama. Namun isi maupun
filosofinya diubah menjadi cerita yang bernuansa dan bernafaskan
nilai-nilai Islam. Hal ini dapat dibuktikan dalam cerita Mustakaweni
atau Hilangnya Jimat Kalimosodo. Jimat Kalimosodo adalah sebuah senjata
pusaka yang berkekuatan istimewa yang dapat digunakan untuk maksud apa
saja sesuai dengan kehendak pemiliknya.
Cerita
jimat Kalimosodo adalah asli buatan Demak. Maksudnya ‘ Azimah = Jimat
(sesuatu yang bertuah/sakti). Sada = Syahadat (Persaksian, bukti diri),
jimat Kalimosodo berarti Azimah Kalimat Syahadah, mempunyai kesaktian
luar biasa dan dimiliki oleh keluarga-keluarga yang baik seperti
Pandawa. Sedangkan Pandawa Lima, ada yang mengartikan Rukun Islam yang
lima, atau Lima Waktu Sholat dan lain-lain. (penulis : Lilik Soebari)