Qurban Totalitas Penghambaan Pada Allah Swt !

Wawancara dengan KH. Taufikurrahman Syakur, M. Ag.
  
Hari raya Idhul Adha merupakan salah satu hari raya besar umat Islam yang senantiasa di sambut meriah dan suka cita. Dalam setiap moment peringatan hari besar ini, nama nabi Ibrahim as dan Ismail kembali menguat dalam memori umat Islam. Kisah keikhlasan nabi Ibrahim ketika diperintahkan menyembelih putranya Ismail memberikan suatu keteladanan tentang penghambaan total kepada Allah SWT.

Menggali makna yang tersurat dan tersirat  momentum bersejarah peristiwa qurban dan Idhul Adha, berikut bincang-bincang El Iemawati dengan KH Taufikurrahman, M. Ag.


Setiap tahun hari Raya Idhul Adha senantiasa disambut meriah dan suka cita, momentum apa yang melatarinya ?

Idhul Adha berangkatnya dari sejarahnya nabi Ibrahim dan Ismail, ringkasnya dalam Alqur’an itu dikisahkan pada suatu saat nabi Ibrahim bermimpi, dalam mimpinya itu beliau seolah-olah menyembelih putranya, dalam beberapa tafsir dijelaskan mimpi itu sampai berulang tiga kali. Mimpi seorang nabi itu wahyu, Ibrahim tahu bahwa itu wahyu kepadanya supaya beliau menyembelih putranya sebagai pertanda penghambaan beliau kepada Allah SWT. Jadi sebagai pertanda bahwa Ibrahim itu hamba Allah yang tulen, maka sebagai tanda dia sebagai seorang hamba mengorbankan putranya. Kemudian mimpi itu diceritakan kepada putranya, dan Ismail sebagai anak yang soleh paham bahwasanya apa yang dilihat ayahnya dalam mimpi itu adalah mimpi yang harus dikerjakan dan itu adalah wahyu kepada nasi seperti Ibrahim. Ismail, anak yang mengerti akan hal itu dia mengiyakan dan mempersiapkan diri untuk, “dikorbankan.”

Secara konkrit, makna dari Qurban itu sendiri ?

Qurban itu berasal dari kata qoruba, qoruba itu dekat, qoruba ya qobru qurbanan. Jadi berasal dari akar kata dekat, artinya kalau di dalam fikih qurban itu bermakna sembelihan yang dilakukan oleh seseorang bertujuan untuk mendekatkan dirinya kepada Allah SWT

Dalam konteks kekinian, bagaimana Bapak melihatnya ?

Dalam konteks kekinian, saya lebih melihat kepada disamping Idhul Adha itu bernuansa bagaimana kita sebagai hamba secara totalitas menjadikankan diri kita sebagai hamba yang benar-benar seorang hamba dan kita menjadi hamba Allah SWT tidak setengah-setengah. Segala sesuatu yang menjadi kalau kepentingan Allah SWT itu yang harus kita dahulukan daripada kepentingan-kepentingan yang lain, sebagaimana Ibrahim mendahulukan kepentingan Allah SWT di atas kepentingannya sendiri. Bagimana seorang anak disembelih, gitu ya. bagaimana seorang anak dikorbankan ? Tetapi dikorbankannya anak ini dalam rangka untuk menjunjung tinggi perintah Allah SWT, maka tidak ada lagi yang menghalangi keinginan Ibrahim umtuk menomorduakan Allah SWT, Ibrahim menomorsatukan Allah SWT.

Saya pikir untuk saat sekarang ini contoh dari Ibrahim harus kita teladani, bahwasanya Allah SWT adalah Zat yang harus kita dahulukan hak-haknya, itu yang pertama. Kedua, saya lebih fokus pada bagaimana pola komunikasi antara orang tua dan anak. Ibrahim itu tahu bahwasanya mimpi nabi adalah wahyu, walaupun dia tahu bahwa mimpi itu adalah wahyu namun dia tidak serta merta langsung mengultimatun kepada putranya, “Hei, putraku ini harus kamu kerjakan”, tidak ! Beliau komunikasikan dahulu dengan putranya. Dalam bahasa Alqur’annya begini, “Ismail, satu ketika melihat dalam tidurku, aku menyembelihmu. Terhadap mimpiku ini apa pendapatmu ?” Bayangkan ! Mimpi seorang nabi yang itu wahyu tidak serta merta beliau doktrinkan begitu saja kepada putranya agar mengikuti, tetapi beliau diskusikan terlebih dahulu kepada putranya. Apa kesanmu terhadap mimpiku ini ? Dalam hal ini kita melihat begitu indahnya pola hubungan antara orang tua dan seorang anak.

Dan saat-saat sekarang ini pola hubungan seperti itu harus benar-benar diaktualisasikan bagi orang tua, orang tua harus perhatian kepada putra-putrinya, orang tua harus memiliki perhatian yang penuh dan tidak setengah-setengah menhjasikan dirinya sebagai orang tua yang benar-benar orang tua. Dia mengayomi, dia mendidik dan dia lakukan segala sesuatunya untuk menjaga agar jangan sampai putra-putrinya ini terjerumus pada hal-hal yang tidak benar. Saat sekarang ini terjadinya degadrasi moral, salah satu penyebabnya adalah kurangnya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak. Orang tua sibuk dengan aktivitasnya sendiri dan anak dibiarkan melakukan aktivitas di luar tanpa kontrol dari orang tua. Ibrahim dan Ismail adalah figur seorang orang tua dan seorang anak yang memiliki komunikasi yang sangat luar biasa, saya pikir seperti itu.

Inikan hubungan dalam konteks pribadi, bagaimana konteks sosialnya ?

Allah SWT dalam Aqur’an berfirman, “Inna aktainakalkautsar, faasaollilirobbika wanhar”, dan ini berkaitan dengan kurban “Sungguh Kami (Aku) telah memberikan kepada kamu Muhammad  kenikmatan yang luar biasa. Maka terhadap kenikmatanKu itu tugasmu ada dua, kata Allah SWT.” Jadi ayat ini memang shytopnya yang dijadikan obyek itu Rasulullah, tetapi Alqur’an diturunkan kepada kita umat Islam maka itu berlaku universal, berlaku kepada siapa saja, jadi tidak hanya kepada Rasulullah saja. “Aku berikan kepada kamu kenikmatan yang banyak, Fasolli, sholatlah kepadaKu,sholatlah kamu, wanhar, dan berkorbanlah ! “

Jadi kalau saya melihatnya sholat itu perpekstifnya adalah hubungan seorang hamba dengan tuhanNya, secara vertikal, waanhar, berkorban ini kalau saya melihatnya bagaimana hubungan tidak terjadi hanya antara kita dengan Tuhan, tetapi harus ada hubungan hablun minannasnya. Jadi kurban dalam konteks ini, di samping ia memiliki makna bahwasanya pertanda penghambaan kita kepada Allah SWT, di samping itu jangan dilupakan kita akan berhadapan dengan orang lain yang pola hubungan dengan orang lain harus di jaga. Salah satu diantaranya adalah sikap dan sifat empati kita terhadap orang yang membutuhkan pertolongan, membutuhnya uluran tangan kita, ya kurban ini.

Idhul Adha senantiasa berkaitan dengan kurban, apa sih keutamaan ibadah ini dibandingkan dengan ibadah lainnya ?

Dikatakan pada salah satu Hadist, bahwasanya setiap tetes darah dari hewan yang dikurbankan itu pelebur dosa dari orang yang melakukan qurban. Yang tersirat saya pikir lebih pada sugesti, dorongan untuk ber-empati kepada orang lain, selalu memiliki sifat dan sikap untuk memberikan perhatian pada orang lain yang membutuhkan bantuan kita. Karena apa ? Karena dalam kehidupan ini kita tidak akan bisa terlepas dari orang lain, karena manusia sebagai makhluk sosial. Namun pada qurban ini, menitikberatkan bagaimana kita membangun hubungan sosial dalam arti memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan kita.

Semuanya telah di atur oleh Allah SWT, Idhul Adha ini kan bersamaan dengan momentum haji, dan gambaran qurban dan ibadah haji itu ada sinergitas, ada kebersambungan. Contoh haji, orang kalau pakai pakaian ihram, bajunya putih semua, tidak ada bedanya antara yang kaya dengan yang miskin, antara yang berpangkat dan yang tidak. Ketika mereka wukuf di Arofah, mereka kumpul di satu tempat, tidak ada tempat-tempat khusus untuk mereka-mereka yang berstatus tinggi, misalnya. Saya pikir, inilah sinergitas antara Idhul Adha itu sendiri dengan ibadah haji. Intinya apa ? Manusia itu akan dianggap hamba oleh Allah SWT, manusia itu akan di pandang sebagai seorang hamba oleh Allah SWT, tergantung pada kualitas dia sebagai seorang hamba. Sebagai seorang hamba. Kalau dia mau menjadikan diri sebagai yang benr-benar hamba Allah SWT, mau menghambakan dirinya kepada Allah SWT, maka tinggilah derajatnya dia di mata Allah SWT.

Begitu pula dalam konteks ibadah haji, siapa yang bisa kita ketahui, wong baju mereka sama-sama putih, ibadah yang mereka lakukan sama. Siapa yang bisa tahu derajat di antara mereka lebih tinggi atau lebih rendah ? Tidak ada yang tahu ! Yang tahu hanya Allah SWT, mereka sama di hadapan Allah SWT, yang membedakan di antara mereka adalah penghambaan mereka kepada Allah SWT, dan dalam bahasa agama adalah ketaqwaan kepada Allah SWT.

Pada awalnya qurban adalah ibadah perorangan, namun dalam perkembangannya sekarang dilakukan secara kolektif. Mohon penjelasan lebih konkrit !

Memang agama mengatur ada hewan yang bisa kita jadikan qurban itu hanya untuk pribadi, ada hewan qurban yang bisa secara kolektif. Kalau kambing itu untuk satu orang, kalau sapi atau onta itu kan untuk 7 (tujuh) orang. Itu aturan agama. Kalau saya melihatnya bukan pada pribadi atau kolektifnya, tetapi pada bagaimana \qurban itu yang pribadi ataupun kolektif di distribusikan tepat sasaran. Bagaimana daging qurban didistribusikan pada daerah-daerah korban gempa ataupun daerah pedalaman

Terkadang ibadah hanya dimaknai sebatas ritual semata, menurut Bapak ?

Sebenarnya praktek ritual di dalam agama ada makna tersurat dan tersirat, semua tanpa terkecuali. Jadi praktek ibadah dalama agama itu tidak hanya yang kita lihat saja, di balik itu ada pesan-pesan yang perlu kita tangkap. Salah satu diantaranya adalah qurban ini, orang memnag meliohat nya qurban itu adalah menyembelih hewan qurban, kalau kaitannya dengan Idhul Adha sholat Ied di masjid. Mohon maaf, kita terkadang “tertipu” dengan ritual yang bersifat fisik itu. Apa yang ada di balik itu tidak banyak kita tangkap, kenapa kalau Idhul Fitri atau Idhul Adha itu semua orang dianjurkan untuk keluar rumah, bahkan wanita yang haid pun. Ini menyiratkan kepada kita, pesan kepada kita bahwa Islam itu kebersamaan, Islam itu kebersatuan. Jangan ada lagi di kalangan umat Islam meskipun ada perbedaan tetapi perbedaan itu jangan sampai menjadikan kita centang perenang, tidak bertegur sapa dan meneyabakan perpecahan. Perbedaan itu, okey ada, tetapi Islam mengajarkan yang didahulukan oleh Islam itu kebersamaan. Bagaimana kebersamaan itu di pupuk, karena dari kebersamaan ini akan menjadikan agama itu kuat dan jaya, termasuk di dalamnya negara kita tercinta ini.

Proses pembelajaran dan pemahaman  agama sepertinya penekanannya cenderung pada teoritis semata, sehingga yang tertangkap hanaya kulit luarnya saja. Sedangkan ruhnya sama sekali tercecer, menurut Bapak ?

Saya pikir lebih  kepada tanggungjawab orang tua, mohon maaf saya tidak menyalahkan orang tua. Dalam keseharian anak-anak kita lebih banyak bertmu dengan orang tua, sebenarnya intensitas pertemuan orang tua dn anak yang lebih dominan ini harus sdimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menanmkan nilai-nilai keagamaan kepada putra-putrinya. Kalau kita sebagai orang tua lebih menyerahkan segala sesuatunya kepada guru, berapa jam sih anak-anak kita bertemu dengan gurunya ? Kan kita sebagai orang tua lebih banyak bertemu dengan anak-anak kita. Salah satu seperti ini, menanamkan nilai agama itu tidak harus mengajarkan caranya berwudhu seperti ini, caranya sholat seperti ini. Memang bahwa itu bagian dari edukasi, tetapi orang tua kadang-kadang melihat nuansa-nuansa agama dari sisi yang saya ceritakan tadi. Tak kalah pentingnya adalah orang tua melakukan pendampingan secara terus menerus dan memberikan pemahaman yang lebih konkrit serta menerapkannya.

Seperti pola  yang diterapkan oleh nabi Ibrahim kepada nabi Ismail ?

Memang sejak lahir nabi Ibrahim sudah menanamkan nilai-nilai pada putranya, ada dua jalan yang dilakukan oleh nabi Ibrahim. Yang pertama, jauh sebelum beliau dikaruniai putra beliau sering berdoa yang doa tersebut ditulis dalam Al-qur’an, “Ya Allah ! Karuniakan kepadaku keturunan-keturunan yang soleh”. Begitu beliau dikaruniai putra Ismail, maka sejak kecil Ismail diberi pelajaran-pelajaran terbaik oleh Ibrahim. Bagaimana nabi Ibrahim memberikan pemahaman kepada Ismail posisi beliau sebagai seorang nabi, bagaimana perjuangan seseorang harus mengedepankan kepentingan Allah SWT daripada kepentingan diri dan dunianya. Sejak kecil itu sudah ditanamkan oleh Ibrahim, termasuk juga oleh ibunya. Sang ibu juga memberikan contoh yang terbaik kepada putranya bagaimana dia berjuang untuk menegakkan kalimat-kalimat Allah SWT di muka bumi ini, dan itu di dengar langsung oleh putranya Imail

Nabi Ibrahim kan memang pilihan, nah, apa yang mesti dilakukan oleh orang tua masa kini agar mampu meneladani beliau ?

Ya, kita ini sering ber-apologi istilahnya, sering membela diri. Ya, nabi Ibrahim itukan nabi, bagaimana dengan kita ? Justru nabi itu diturunkan sebagai teladan bagi kita yang teladannya harus kita tiru. Walaupun kita tidak bisa meniru seratus persen, tapi mereka-mereka diturunkan oleh Allah SWT , diceritakan dalam Alqur’an biar mereka menjadi teladan. Paling tidak untuk saat ini teladan yang bisa kita tiru dari pribadi Ibrahim dan Ismail adalah bagaimana pola komunikasi hubungan antara orang tua dengan anak terjalin dengan luar biasa. Sehingga apa ? Ketika Ibrahim menyampaikan kepada Ismail bahwa aku dapat perintah dari Tuhanku, maka tanpa tawar menawar Ismail mengerti langsung bahwasanya itu perintah Allah SWT dan harus dikerjakan. “Wahai ayah, kerjakan apa yang diperintahkan kepadamu, engkau akan dapati aku termasuk orang-orang yang sabar”. Indah ini, hubungan-hubungan orang tua dengan anak.