Tembang Macapat “Media Dakwah Para Wali”



oleh: Lilik Rosida Irmawati

Siapapun tidak dapat mengelak atau pun membantah tentang bukti-bukti keberhasilan  para Wali Songo ketika berdakwah menyiarkan agama Islam di bumi nusantara. Keberhasilan para Wali tak terlepas dari metode yang dipergunakan pada saat itu, yaitu  menggunakan media kesenian.

Adapun media seni tersebut antara lain, gamelan, berbagai upacara, pertunjukan wayang ataupun menciptakan bentuk tembang (nyanyian). Untuk tembang mula-mula dipakai sebagai media untuk memuji Allah SWT (pujian keagamaan), di surau-surau sebelum didirikan shalat wajib. Tembang tersebut berbahasa Jawa, penuh sentuhan lembut dan membawa kesahduan pada jiwa.

Tembang tersebut dinamakan tembang Macapat. Selain berisi pujian kepada Tuhan Pencipta alam semesta, tembang tersebut menyampaikan ajaran, anjuran, serta ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan, ajakan untuk bersama-sama membenahi kerusakan moral dan budi pekerti, mencari hakekat kebenaran serta membentuk manusia ber-kepribadian dan ber-budaya. Melalui tembang Macapat setiap hati manusia diketuk untuk lebih mendalami serta memahami tentang makna hidup. Lebih dalam lagi, syair-syair yang terkandung dalam tembang Macapat merupakan manifestasi hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta ketergantungan manusia kepada Sang Penguasa Alam Semesta.

 Para wali yang menciptakan tembang Macapat adalah  ;

  1. Sunan Giri menciptakan tembang Sinom yang berarti Nur, yaitu tentang cahaya hidup yang tak pernah tua,
  2. Sunan Majagung, tembang Maskumambang yang melambangkan ilmu,
  3. Sunan Kalijaga, menciptakan tembang Dandang Gula, berisi mengajak pada rasa manis, yaitu mengharap kebahagiaan,
  4. Sunan Bonang, menciptakan tembang Durma “harimau”. Harimau adalah lambang dari 4 nafsu manusia, yaitu :  ego centros – nafsu angkara, polemos – nafsu mudah marah/berangasan, eros – nafsu birahi/sofia, relegios – nafsu keagamaan, kebenaran dan kejujuran,
  5. Sunan Murya, menciptakan tembang Pangkur yang melahirkan tembang pembirat, yaitu tembang yang berisi bagaimana membasmi hati yang jahat,
  6. Sunan Giri Parepen, menciptakan tembang Megatruh yang berisi ajaran meninggalkan alam kotor,
  7. Sunan Giri Jati, menciptakan tembang Pucung, melambangkan perasaan yang memuncak (rasa perasaan itu puncak kehendak).
Seiring dengan penyebaran dan perkembangan agama Islam di berbagai wilayah nusantara, tembang Macapat inipun menyebar sampai ke pulau Madura. Tembang Macapat Madura awal keberadaannya berasal dari tembang Macapat Jawa dan tembang Macapat Madura pada dasarnya adalah kumpulan beberapa tembang Jawa kuno. Oleh sebagian penikmatnya, tembang Macapat diterjemahkan ke dalam bahasa Madura. Namun oleh sebagian penikmat lainnya, setiap pembacaan tembang Macapat tetap menggunakan bahasa Jawa kuna (kawi). Untuk mengetahui dan memahami makna, isi serta maksud tembang tersebut, dipergunakan seorang penerjemah yang disebut “panegges”

Karakteristik Tembang Macapat Madura
Karena berasal dari satu pohon, maka tembang Macapat Madura  memiliki banyak persamaan dan kesamaan dengan tembang Macapat Jawa. Keduanya diikat oleh suatu aturan tembang, yaitu jumlah gatra (padde) dari masing-masing tembang berbeda, mengikuti aturan guru lagu dan guru wilangan yang sama. Adapun perbedaannya terletak pada syair yang dinyanyikan, pada tembang Macupat Jawa syair mengikuti aturan not balok atau angka, sedangkan di Madura lebih mengutamakan cengkok atau lagu       

Jenis tembang Macopat Madura dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu tembang raja, tembang tengahan dan tembang Macopat atau tembang kene’. Tembang Macopat atau tembang kene’ ada 11 tembang, yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu ; (1) Salanget (Kinanti), (2) Pucung, (3) Mejil (Medjil), (4) Maskumambang, (5) Durma, (6) Kasmaran (Asmaradana), (7) Pangkor, (8) Senom (Sinom), (9) Artate’ (Dandanggula), (10) Megattro (Megatruh), (11) Gambuh.

 Ciri-ciri yang membedakan antara tembang yang satu dengan lainnya ;

Tembang Salanget (Kinanti), tembang ini melukiskan cerita-cerita percintaan (kasih sayang). Tembang ini mempunyai guru gatra (baris), yang terdiri dari enam baris, baris pertama mempunyai sepuluh suku kata yang berakhir bunyi i (10 i ), kemudian berturut-turut 6o – 10e – 10i – 6i dan 6u.

Tembang Pucung. Nama Pucung diambil dari nama biji pohon kepayang, dalam tembang ini terdapat empat gatra (baris) dengan guru wilangan dan guru lagu 12u – 6a – 8i –12a, maksudnya adalah pada baris pertama ada dua belas suku kata dengan vokal akhir u, baris kedua dengan enam suku kata diakhiri vokal a, baris ketiga ada delapan suku kata diakhiri vokal I dan baris keempat terdapat dua belas suku kata diakhiri vokal a. watak dari tembang ini adalah sembrana parikena (sembarangan), biasanya dipakai untuk menceritakan hal-hal yang ringan, jenaka atau teka-teki.

Mejil (Medjil), Mijil dalam bahasa Jawa berarti Medal artinya keluar, yaitu tembang yang mengungkapkan dan melukiskan  rasa sedih. Di samping itu tembang Medjil memuat pula kisah-kisah nasehat yang berisi tentang kebesaran Sang Pencipta. Adapun tembang Medjil mempunyai guru gatra (baris) yang terdiri atas enam baris. Baris pertama mempunyai sepuluh suku kata yang berakhir bunyi i (10i), kemudian berturut-turut 6o –10e – 10i –6i dan 6u. Watak yang terkandung dalam tembang ini berbicara tentang keprihatinan.

Maskumambang atau Kumambang mempunyai arti “mengapung”. Dalam tembang ini terdapat empat gatra (baris) pertama ada duabelas suku kata dengan diakhiri vokal i, baris kedua enam suku kata diakhiri vokal a, baris ketiga ada delapan suku kata diakhiri vokal  i dan baris keempat ada delapan suku kata dan diakhiri vokal a.

Durma atau Sima (Jawa) artinya harimau. Sesuai dengan arti  tersurat tembang Durma cenderung  bersifat keras. Karena tembang ini melambangkan tiga nafsu manusia yang mewakili nafsu angkara, nafsu mudah marah serta nafsu birahi. Tembang ini menggambarkan cerita-cerita perkelahian, perang serta kondisi psikologi. Tembang  ini mempunyai tujuh gatra (baris). Baris pertama sampai dengan baris ketujuh berturut-turut 12a – 7i –6a – 7a – 8i – 5a dan 7i.

Asmaradana atau Kasmaran (Madura), berarti suka, kasengsem (jatuh cinta). Tembang ini biasanya digunakan untuk menggambarkan perasaan cinta ataupun rasa sedih. Selain itu juga memberikan gambaran rasa senang, bahagia, tidak ada pikiran susah dan senantiasa berada dalam kondisi gembira. Tembang ini mempunyai tujuh baris, baris pertama terdiri atas delapan suku kata yang berakhir huruf i (8i), kemudian berturut-turut 8a – 8o –8a – 7a –8u dan 8a.

Pangkur atau Pangkor (Madura) berarti penghujung, tembang ini biasanya ditembangkan pada bagian  akhir suatu cerita. Tembang ini mempunyai tujuh gatra (baris),  dan guru wilangan lagu masing-masing 8a – 11i – 8u – 7a – 12u – 8a – 8i. Pangkor biasanya dipakai untuk mengungkap hal-hal yang bersifat keras, seperti kemarahan, perkelahian dan perang. Meskipun tembang Pangkor identik dengan nuansa heroic, namun banyak diantara-nya memberikan gambaran yang lugas dan gamblang tentang kekerdilan manusia dihadapan Sang Pencipta.

Sinom (Senom) diambil dari pucuk daun asam. Tembang ini mempunyai sembilan gatra (baris), baris pertama sampai kesembilan masing-masing 8a – 8i – 8a – 8i – 7i – 8u – 7a – 8i – 12a. Tembang ini biasanya dipakai untuk mengungkapkan ha-hal yang bersifat romantis, baik dalam hubungannya dengan kisah percintaan ataupun hubungan antar sesama manusia.

Dhandanggula (Artate’) terdiri dari dhandang dan gula, dhandang mengandung arti pangarep (Madura), gula berarti manis. Tembang ini mempunyai sepuluh gatra (baris), guru wilangan dan guru lagu masing-masing 10i – 10a – 8e – 7u – 9i –7a – 6u – 8a – 12i – dan 7a.  Tembang ini mempunyai maksud dan sebuah pengharapan tentang  sesuatu dengan tujuan akhir mencapai  kebaikan. Tembang Macopat ini biasanya dipakai untuk mengungkapkan perasaan suka cita atau pun ketika mencapai sebuah kemenangan.

Megatruh atau Duduk Wuluh (Jawa), duduk artinya suling sedangkan Wuluh berarti bambu. Tembang ini mempunyai lima gatra (baris) dengan guru wilangan dan guru lagu, masing-masing baris 12a –8i – 8u – 8i – 80. tembang ini biasanya dipakai untuk melukiskan perasaan kecewa ataupun kesedihan yang mendalam.

Gambuh dalam bahasa Jawa “prigel”, dengan maksud bahwa segala sesuatu bisa diatasi. Tembang ini terdiri atas lima gatra (baris) dengan guru wilangan dan guru lagu berturut-turut 7u – 10u – 12i – 8u- 8o. watak dari tembang ini adalah memberi penjelasan.

Makna Tersirat Dan Tersurat Tembang Macapat

Kebijaksanaan para Wali Songo dalam usaha dakwah melalui media seni, ternyata membawa hasil luar biasa. Hampir 90 % rakyat di wilayah nusantara mengaku dirinya ber-agama Islam. Keberhasilan tersebut tentunya berkat kegigihan, keuletan, kesabaran serta pembagian program secara terperinci dan ter-organisir rapi. Walaupun hidup para Wali tidak seluruhnya satu jaman, namun perjuangan atau usahanya merupakan satu gerak langkah yang terus-menerus, teratur, rapi dan disadari (bukan suatu hal yang kebetulan belaka).

Melalui tembang Macapat, dapatlah  digali arti, maksud dan makna filosofi  yang mendalam  dalam setiap tembang, walaupun satu sama lainnya berbeda dan  mempunyai  ke-spesifikan tersendiri, namun satu sama lainnya merupakan rangkaian cerita yang tidak dapat dipisahkan. Disamping itu isi dari tembang-tembang Macapat mempunyai nilai-nilai relegius yang tinggi, sehingga nilai-nilai moralitas yang terkandung didalamnya mudah dipahami oleh penikmatnya.

Seperti halnya tembang Macapat Jawa, tembang Macopat Madura berisi syair-syair yang indah, dengan demikian ajaran, anjuran, ajakan menuju pintu kebaikan mudah dicerna dan diserap oleh pengikutnya. Sehingga nilai budi pekerti luhur, nilai kejujuran, disiplin, amanah dan nilai relegius yang tersirat maupun tersurat lebih mudah ditanamkan dalam hati sanubari. Nilai-nilai yang tertanan tersebut diharapkan mampu membentuk manusia ber-budaya sekaligus mencetak pribadi muslim menjadi manusia paripurna. (brsambung ...)

*****
 Tulisan bersambung:

  1. Tembang Macapat “Media Dakwah Para Wali”
  2. Tembang Macapat “Media Dakwah Para Wali” (2)
  3. Tembang Macapat “Media Dakwah Para Wali” (3)
  4. Tembang Macapat “Media Dakwah Para Wali” (4)