Cung-Kuncung Konce, Mengisyarakat Pendidikan Seks?

 Lilik Rosida Irmawati

Bentuk Permainannya

Permainan ini dimainkan oleh dua sampai empat anak, permainan ini dilakukan dengan cara duduk berhadapan. Jempol tangan kiri ditegakkan dan keempat jari yang lain dalam posisi menggemgam. Kemudian keempat jari tangan kanan menggemgam jempol tangan kiri, dan jempol tangan kanan ditegakkan. Anak-anak yang lain kemudian meletakkan tangannya di atas tangan anak yang pertama dengan posisi yang sama, begitu seterusnya. Setelah semua anak meletakkan tangannya dalam posisi tersebut, lalu mereka menyanyikan lagu tersebut sambil menggoyang-goyangkan tangan, pada saat bait terakhir dinyanyikan, “ondurragi jung baba’an” maka telapak tangan yang paling bawah diposisikan tertelungkup.

Kemudian anak-anak tersebut menyanyikan lagu tersebut secara terus menerus sampai semua tangan tumpang tindih tertelungkup. Setelah semua tangan tertelungkup, maka tangan yang paling atas memukul tangan dibawahnya, dan begitu seterusnya. Atau juga dengan cara lain, setelah semua tangan tertelungkup maka tangan yang paling atas mengambil tangan yang dibawahnya kemudian diletakkan di atas kepala masing-masing anak.


Cung-Kuncung Konce,

Cung kuncung kunce
Koncena lo-olowan
Sabanyong saketheng
Na’kana’ marking-markung
Baba’anna kapung-kapung
Ngek-serngeggan, rut-suruddan
Pangantan tao abajang
Pabajanggnga ketha’ keddung
Ondurragi jung baba’an

Cung-kuncung kolor
Kolorra bintang kangkong
Sater-oler sakomancer
Bibidanna tajin jaba
Lali lana lali lanthung
Ondurragi jung-baba’an

Cung acung lerengan
Kkembang ala’ kembang aling
Taruttut onta-onta
Pamakona kaju sentik
Ondur setthong jung baba’an

Cung acung lerengan, pettha tale lempung
Buwana apung-apung, ta’ ngok-serngogan
Ta’ ngek-serngegan, jumantre-jumantre
Nangga’a bajang
Bajangnga kethak kedhung
Ondurragi jung baba’an


Terjemahan bait  bebas bait 1:
Kuncung-kuncung kunci,
 kuncinya beruas-ruas
sebuku seruas
anak-anak duduk-duduk
dibawah pohon kapuk
cekikikan cekakakan
sang pengantin ber-sembahyang
sembahyang asal gerak


Makna Umum dari Syair Cung-Kuncung Konce

Jenis permainan ini seringkali dikonotasikan dengan seksualitas, karena melihat posisi tangan ketika sedang bermain. Posisi jempol kiri yang menggemgam keempat jari lainnya, dan juga ketika genggaman digoyang-goyangkan, seakan-akan sedang melakukan persetubuhan. Hal ini diperkuat  oleh baris kedua dengan kata, “lo-olowan” yang diterjemahkan , ‘tertidur karena terlalu kepayahan.” Tentu saja kepayahan disini disebabkan sang pengantin telah selesai melaksanakan kewajibannya.

Konon lagu ini dinyanyikan oleh anak-anak ketika sedang ada hajatan perkawinan. Lagu ini dinyanyikan sebagai tanda sang pengantin telah memasuki peraduan kamar pengantinnya.


Makna Tersirat Pada Syair Cung-Kuncung Konce

Walaupun secara umum masyarakat menilai bahwa lagu ini syarat dengan muatan seksualitas, namun apabila dikaji lebih mendalam terdapat nilai-nilai filosofi yang sangat mendalam sekaligus nilai-nilai kearifan, etika dan moralitas. Nilai-nilai tersebut terutama terdapat pada bait pertama. Sedangkan bait kedua dan seterusnya merupakan syair-syair tambahan untuk lebih memperpanjang nyanyian tersebut.

Secara gamblang pada bait pertama dalam puisi lisan Cung Kuncung Kunce memberikan gambaran utuh tentang perilaku yang semestinya dimiliki oleh masyarakat. Sopan santun, etika serta tata krama menempati urutan teratas sebagai perilaku yang patut dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Penghormatan dan penghargaan yang tinggi akan diberikan  kepada setiap masyarakat dari berbagai kalangan, apabila mampu menunjukkan sifat, sikap serta perilaku yang baik. Sebaliknya, walaupun menyandang status sosial tinggi serta bermartabat tidak akan mendapatkan penghormatan dari anggota masyarakat lainnya apabila menunjukkan perilaku yang cacat dan tercela.

Perilaku yang paling tercela adalah sikap yang ditunjukkan oleh seseorang terhadap penganut agama yang sedang menjalankan ibadah. Gambaran ini dapat dikutip dari kalimat, //Na’kana’ marking-markung /Baba’anna kapung-kapung / Ngek-serngeggan, rut-suruddan//, (//anak-anak duduk-duduk / dibawah pohon kapuk / cekikikan cekakakan//). Kalimat dalam puisi tersebut adalah ungkapan yang ditujukan kepada seseorang yang dengan sengaja tidak menghormati serta menghargai seseorang yang sedang menjalankan ibadah. Melalui sindiran tersebut diharapkan mampu merubah perilaku tercela menjadi perilaku yang terpuji.

Penanaman nilai-nilai etika maupun spiritual (agama) yang dilakukan sejak dini, diharapkankan mampu membentuk kepribadian yang matang sampai dewasa. Apalagi ketika telah memasuki usia matang perkawinan. Nilai-nilai kebaikan, perilaku terpuji serta kematangan kepribadian yang dimiliki akan menjadi bekal serta menjadi benteng kokoh ketika menghadapi problematika kehidupan. Salah satu nilai yang paling penting adalah menjalankan kewajiban shalat lima waktu, namun dalam realita yang ada banyak sekali manusia (umat muslim) melalaikan kewajiban tersebut, sebagaimana diungkapkan dalam kalimat, //Pangantan tao abajang /Pabajanggnga ketha’ keddung//( sang pengantin ber-sembahyang / sembahyang asal gerak).

Bangunan yang kokoh tentunya ditunjang oleh pondasi  dan ting-tiang kokoh serta kuat. Perumpamaan tersebut dapat dijadikan tolak ukur kehidupan beragama. Seseorang yang mengaku dirinya beragama, tentunya akan menjalankan semua ketentuan yang disyariatkan oleh agama yang dianutnya. Namun sering terjadi manusia hanya menggunakan agama sebagai identitas diri agar diakui keberadaannya oleh lingkungan masyarakatnya.

Maka filosofi mendalam dalam syair Cung Kuncung Kunce ini membidik sosok manusia yang hanya menggunakan agama sebagai identitas dan simbol. Ibadah shalat lima waktu sebagai tiang penyangga bangunan kokoh Islam, dijalankan hanya sebatas ritual semata. Akibat dari sikap yang tidak konsisten  terhadap agamanya, maka perilaku yang dijalankan sama sekali jauh  dari nilai-nilai yang disyariatkan oleh agama.

Shalat lima waktu merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan. Ibadah tersebut adalah ibadah pribadi yang langsung berhubungan  dengan Sang Khalid, yaitu totalitas kepasrahan pribadi seorang muslim  serta implementasi ibadah tersebut dalam kehidupan sosial nya di masyarakat. Keselarasan ibadah vertikal dengan ibadah horizontal harus seimbang. Dengan demikian maka akan terciptalah suatu kehidupan yang harmonis serta tatanan masyarakat yang tertib.

Secara tersirat, syair Cung Kuncung Kunce mengingatkan umat muslim untuk menjalankan ibadah shalat dengan sebenar-benarnya. Karena nilai yang terkandung dalam shalat dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Dengan melakukan ritual shalat, manusia akan lebih dekat dengan Sang pencipta-Nya. Dengan melaksanakan shalat secara  baik dan benar akan menjadikannya seorang pribadi yang matang, kuat dan kokoh.  Oleh sebab itu melalui syair Cung Kuncung Kunce, manusia diingatkan agar dalam menjalankan ibadah shalat bukan hanya sebatas ritual semata,  melainkan melaksanakannya dengan kesungguhan hati dan sepenuh jiwa.

Melalui tulisannya, penyair mengingatkan agar  manusia dalam menjalankan ibadah shalat  tidak melakukannya setengah-setengah. Dalam arti apabila shalat hanya dilakukan sebatas ritual saja, maka akan mengakibatkan tidak adanya keselarasan tingkah laku.  Shalat yang bertujuan menyembah Sang Pencipta, menjauhi semua larangan serta mematuhi semua perintah-Nya hanya dijadikan simbol-simbol keagamaan. Hal itu menyebabkan walaupun manusia rajin beribadah, namun masih mengerjakan perbuatan yang tercela, melanggar aturan, berjudi, berzinah maupun mencuri.