Tembang Macapat “Media Dakwah Para Wali” (4)



oleh: Lilik Rosida Irmawati

Selain itu, tembang ini menyiratkan satu sisi lain tentang nilai-nilai kebahagiaan yang luar biasa pada diri manusia. Kebahagiaan tersebut dicapai karena keberhasilan menjalankan  perintah-Nya. Yaitu sebuah perintah untuk menahan hawa nafsu, membersihkan hati, jiwa dan pikiran serta berbuat jujur. Kewajiban menjalankan perintah-Nya, selama sebulan penuh di bulan Ramadan yang penuh berkah.

Puasa merupakan cerminan hubungan yang paling dekat dan langsung antara manusia dengan  Sang Khalik. Hal  itu disebabkan seseorang yang sedang ber-puasa dituntut jujur terhadap diri sendiri, tidak berbohong,  taat serta berbuat baik. Akibat yang paling mencengangkan dan menakjubkan dari orang yang ber-puasa adalah intropeksi diri. Dengan melakukan intropeksi diri,  seseorang akan mampu untuk selalu jujur pada diri sendiri, orang lain dan jujur pada Tuhan-Nya.

Selain itu, syair-syair yang diguratkan dalam tembang Pangkor menyiratkan tentang perlunya manusia menjaga serta merawat lingkungannya. Dengan perawatan yang baik, maka semua yang ada di permukaan bumi ini memberikan keuntungan dan bermanfaat bagi manusia. Dari gambaran diatas dapatlah dikatakan bahwa manusia sangat bergantung kepada makhluk lainnya, sehingga keseimbangan dan ekosistem  alam akan terjaga apabila manusia berlaku arif dan bijaksana ketika mengelola kekayaan yang diciptakanNya.
Makna Tersirat Dan Tersurat Tembang Macapat

(Bagian 4)

Senom (Sinom)                     
Saklangkong loros bungkana
Pappa bi’ tolop dha’ andhi’
Dhauna bi’ topeng padha
Buwa bannya’ raja kene’
Dha’ bungka padha nyelpe’
Ta’ asa pesa apolong
Se ngodha biru barnana
Ding towa oba koneng
Mon buwa eporrak, bigi katon kabbi

( Sastrodiwirjo)

(Pohonnya sangat lurus, pelepah dan ranting tidak punya, daunnya bisa dipakai payung, buahnya banyak besar dan kecil, bersatu melekat pada pohonnya, bersatu tidak terpisah, yang muda biru warnanya, bila tua berubah warna kuning, kalau buah sudah dibelah, biji baru kelihatan).
   
Mon ta’ rokon sataretan,
Pedjer apadu ban are’
Ontong tada’ rogi bada
Oreng towa lake’ bine’
Tlebet sossa mekkere
Daddina saaherrepon
Ta’ burung salbut salsal
San bada se klero diddi
Pon ta’ ngabbru atjaggik napso e lombar


                                                             (Asmoro, 1950: 18)

(Kalau tidak rukun se-saudara, pastilah bertengkar setiap hari, untung tidak rugi pasti, orang tua laki dan perempuan, sangat susah memikirkan, bagaimana akhirnya, paling tidak rusak berserakan, kalau ada yang salah mintalah maaf. Kalau tidak minta maaf, bertengkar dengan nafsu membara).

Tembang Sinom ini biasanya dipakai untuk mengungkapkan ha-hal yang bersifat romantis, baik dalam hubungannya dengan kisah percintaan ataupun hubungan antar sesama manusia. Di samping itu, bait-bait dalam tembang ini menyiratkan tentang kemampuan membangun hubungan yang harmonis dan romantis antar sesama manusia sebagai makhluk sosial. Apabila hubungan baik telah terbangun dan terjalin,  maka akan terbentuk tatanan  sosial yang mapan. Saling menghargai, saling tolong menolong dan bersama-sama menjaga kerukunan.

Manusia merupakan makhluk yang senantiasa lalai dan berbuat kesalahan. Oleh sebab itu pintu maaf harus senantiasa terbuka. Apalagi hidup dalam suatu masyarakat yang homogen, berbagai karakter berbaur, berbagai kepentingan saling mendahului. Maka setiap manusia hendaknya membekali diri dengan sikap toleransi dan tenggang rasa yang tinggi, mempunyai kebijaksanaan dalam bergaul sehingga tercipta kedamaian yang hakiki untuk mencapai kebahagiaan lahir maupun batin.

Menuntut ilmu agama dan mewariskan kepada generasi penerus merupakan kewajiban utama. Dengan berbekal ilmu agama, manusia mampu membentengi diri dari sifat iri, dengki dan tamak serta mampu berbuat jujur baik pada diri sendiri, orang lain serta terhadap Tuhan-Nya. Di sisi lain, tembang ini mengingatkan agar manusia senantiasa berada dalam lintasan lurus, yaitu dengan cara menjalankan semua perintah-Nya, serta menjauhi semua larangan-Nya.

9. Artate’ (Dhandanggula)  

Lamon sedha ngadek rato radin
Sentosa’a neggu ka adillan
Aseya dha’ bala kene’
Ja’ lebur dha’ panggunggung
Ajja’ pesan a pele kase
Ja’ baji’ dha reng juba’
Pan jurgaepon
Soppeya mare juba’na
Ban ja’ nyeya dha’ reng nestha ban mesken

Maka sedha bellasa                                        (Asmoro. 1991  )

(Jika sudah berani menjadi pemimpin, pegang rasa keadilan dan buat sentosa, jangan suka pekerjaab kecil, dan jangan suka mendapat pujian, jangan sekali-kali pilih kasih, janganlah benci pada orang jelek/bodoh, supaya cepat selesai kejelekannya, dan jangan menyia-nyiakan orang nestapa dan miskin, kalau bisa kasihani).

Oreng odhi’ neng e dunnya mangken
Ngagaliya dha’ kabajibanna, onenga se nyama odhi’
emota dha’ sal osol, Asallepon odhi’na dibi’
Odhi’na du parkara, Saparkaraepon
Odhi’ epon badan kasar, badan alos enggi sokma enyamae
Moga ekagaliya, badan kasar badan alos enggi
Sadajana buto ka teddha’an, sareng angguy se e sae, se raja gunaepon
Se faeda amanfaate,
Banne angguy teddha’an
Se parsasat racon, Se oneng daddi lantaran
Rosakkepon badan kasar alos pole

Se kasebbut e adha’

(Orang hidup dalam dunia sekarang, dipikirkan apa kewajibannya, tahunya cuma hidup, ingat asal-usulnya, asalnya hidup sendiri, hidup ada dua perkara, perkara pertama, kehidupan badan kasar (tubuh) dan badan halus yaitu jiwanya, semoga direnungkan, badan kasar (tubuh) dan badan halus (jiwa), semuanya butuh makanan, yang dapat dipakai untuk kebaikan, yang besar manfaatnya, bukan makanan yang dapat membawa kejelekan, yang dapat menjadi lantaran, rusaknya badan kasar dan badan halus, seperti yang disebutkan di atas).

Tembang ini mempunyai maksud dan sebuah pengharapan tentang  sesuatu dengan tujuan akhir mencapai  kebaikan. Tembang Macopat ini biasanya dipakai untuk mengungkapkan perasaan suka cita atau pun ketika mencapai sebuah kemenangan. Ada pun rasa suka cita dalam tembang Artate (Dhandanggula), adalah rasa suka cita yang berlandaskan nilai-nilai tinggi ilahiyah. Bagaimana tidak ? sebagai makhluk ciptaan yang paling sempurna, manusia dikaruniai kecerdasan akal, kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual dalam upaya mengenali serta mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Melalui kecerdasan akalnya, manusia dapat memilih dan memilah kebutuhan hidup, baik yang bersifat material maupun spiritual.

Untuk bertahan dan melangsungkan kehidupannya, manusia memerlukan makanan. Dalam upaya pemenuhan kebutuhan inilah, manusia diingatkan supaya berhati-hati, teliti, dan cermat agar makanan yang akan menjadi penopang kehidupannya tidak tercampur dengan makanan yang dihasilkan dari pekerjaan yang nista dan haram. Tembang ini mengingatkan agar manusia bekerja dengan tekun, rajin dan jujur, sehingga hasil yang dicapai akan menghasilkan rejeki yang halal. Rejeki halal tersebut akan  menjadi makanan yang berguna dan bermanfaat  bagi perkembangan jiwa maupun pertumbuhannya.

Di sisi lain, jiwa (roh) yang bersemayan dalam tubuh manusia  juga memerlukan makanan. Adapun makanan yang dibutuhkan oleh jiwa adalah keimanan dan ketakwaan, yaitu dengan jalan senantiasa menjalankan amal kebajikan. Dengan demikian, baik tubuh dan jiwa merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan dalam mengemban tugas sebagai makhluk ciptaan-Nya.

Tembang ini juga menyiratkan sebuah pesan tentang keberadaan manusia sebagai seorang pemimpin. Karena pada hakekatnya setiap manusia adalah pemimpin, tapi bagaimanakah figur dan sosok pemimpin sejati ?  Bait-bait tembang ini memberikan nasehat, bahwa seorang pemimpin haruslah adil, terbuka, jujur dan penuh kasih sayang. Rasa keadilan tersebut harus diterapkan terutama pada sesama manusia yang berada dalam posisi lemah, miskin dan serba kekurangan. Disamping itu, figur pemimpin dapat dilihat dari kemampuannya dalam menata diri, mawas diri, mampu menahan ambisi pribadi serta mendahulukan  kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.

Makna suka cita dan kemenangan yang tersirat dalam tembang Artate (Dhandanggula), adalah kemenangan besar manusia melawan diri sendiri. Baik sebagai makhluk individu, makhluk sosial maupun sebagai makhluk ciptaan-Nya.

10. Megattro (Megatruh) 

Pojur onggu reng se kateban Wahyu
Enggi se olle pamanggi
Parkara se sanget parlo
Da’ bangsa amanfaadi
Asmana kodu epondjung


(Sungguh beruntung orang yang mendapat Wahyu, yaitu yang mendapatkan penerangan lahir bathin, urusan yang sangat perlu, dalam kehidupan sangat bermanfaat, namanya haruslah dijunjung tinggi).

Tembang ini biasanya dipakai untuk melukiskan perasaan kecewa ataupun kesedihan yang mendalam. Makna yang terkandung dalam syair-syairnya, selain melukiskan perasaan kecewa dan kesedihan mendalam, tembang ini menggambarkan secara jelas dan gamblang tentang ketergantungan manusia dengan Sang Pencipta. Karena sifat Maha dari Allah, maka manusia mendapat  uluran  kasih sayang-Nya, limpahan anugerah yang melimpah ruah, karunia serta Rahmat-Nya.

Selain itu tembang Megatruh mengabarkan tentang manusia-manusia pilihan (utusan) Allah SWT yang telah diturunkan ke bumi untuk menjadi  figur teladan dan panutan. Para Nabi dan Rasul merupakan utusan yang mempunyai kedudukan sangat tinggi. Hal itu disebabkan, para utusan Allah merupakan pembawa pesan serta ajaran-ajaran yang harus dilaksanakan  oleh manusia. Kewajiban untuk melaksanakan semua ketentuan-ketentuan Allah dan utusan-Nya, tidak boleh ditawar-tawar sebagai wujud totalitas ketergantungan manusia pada Khalid-Nya.

Di sisi lain, secara khusus tembang ini menyiratkan tentang keberuntungan manusia  yang mendapatkan anugerah serta hidayah dari Allah SWT. Hidayah tersebut berupa keterbukaan pintu hati dalam menerima kehadiran Allah dalam bentuk utuh dalam jiwanya. Dengan demikian, sosok individu itu akan mampu meningkatkan kadar keimanan dan ketakwaan-nya. Dengan keimanan dan ketakwaan yang tinggi, maka manusia tersebut akan mampu meng-implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

11. Gambuh (Gambu)

Maneh-maneh welingku
Ngabektia maring rama ibu
Uga guru kabeh paring suluh becik
Kanggo nata urip besuk
Paring teken miwah obor


                                                                                                         (Suwito, 1983:41)

(Sekali lagi nasehatku, berbakti-lah terhadap bapak dan Ibu, juga guru sebab semua memberi nasehat yang baik, untuk menjalani kehidupan kelak, memberi tongkat dan cahaya).

Watak dari tembang ini adalah memberi penjelasan, selain itu tembang Gambu menyiratkan satu sisi tentang ketergantungan manusia kepada manusia lain. Manusia memerlukan figur lain dalam membentuk kepribadian diri yang baik dan mantap. Orang tua, guru, ulama merupakan sosok yang paling ideal dan pas dalam menanamkan  proses menuju kemandirian dan pendewasaan diri.

Tembang ini penuh  berisi petunjuk-petunjuk dan nasehat kepada generasi muda tentang pentingnya menghormati serta menghargai orang lain, terutama kepada orang yang lebih tua (baik orang tua/guru). Bentuk penghargaan dan penghormatan dengan jalan meng-implementasikan dalam kehidupan sehari-hari, semua  ajaran, perintah dan petuah yang berkaitan dengan proses menuju arah kebaikan.

Manusia merupakan makhluk yang senantiasa lalai, oleh sebab itu tembang ini mengingatkan supaya antar sesama manusia saling mengingatkan, saling memberi nasehat dan saling memberi petunjuk, baik terhadap anggota keluarga, sanak saudara atau pun orang lain. Hal itu dilakukan sebagai  kewajiban yang harus dilakukan sebagai hamba Allah sebagai  bentuk tanggung jawab moral terhadap sesama.

Proses Pelaksanaan dan Perkembangannya

Pelantuman tembang Mocopat biasanya diadakan oleh masyarakat pecinta seni tradisional di pedesaan. Pementasan ini biasanya diadakan ketika sedang melaksanakan hajatan, misal ; selamatan kandungan (pelet kandung), Mamapar (potong gigi), sunatan, ritual rokat (ruwatan anak), pesta perkawinan dan ketika memperingati hari-hari besar Islam. Durasi pembacaan Macopat pun beragam, dari durasi pendek sekitar satu jam sampai durasi panjang selama semalam suntuk. Acara ini biasanya dilaksanakan pada malam hari.

Adapun cerita yang dibawakan, tergantung dan disesuaikan  kepada situasi dan kondisi pelaksanaan hajatan. Terkadang setiap tembang dinyanyikan secara terpisah, terkadang pula mengambil variasi dari berbagai tembang. Untuk permainan semalam suntuk, dinyanyikan bermacam tembang, dari masing-masing tembang dipilih dan disesuaikan dengan cerita yang dibawakan. Biasanya untuk acara ritual rokat (ruwatan anak) menyajikan cerita Pandawa atau Betarakala, untuk Mamapar (potong gigi) dibacakan cerita Maljuna, cerita Nabbi Yusuf dibacakan pada acara selamatan kandungan (pelet kandung). Sedangkan cerita Nabi Muhammad, dibacakan ketika memperingati hari-hari besar Islam.

Ada pun lagu/ laras yang ada dalam tembang ada dua, yakni laras Pelog dan laras Slendro. Ada beberapa tembang yang dibacakan tanpa alat musik, misalnya dalam acara rokat pandabha atau Careta Nabbi, namun ada pula yang menggunakan musik pengiring. Musik pengiring dalam pembacaan Macopat menggunakan seruling ataupun iringan seperangkat gending. Tiupan musik tunggal atau pun alunan gending tersebut ternyata mampu membawa suasana lebih hidup. Disela-sela pembacaan Mocopat yang mendayu-dayu, memiriskan serta merawankan perasaan, liukan-liukan seruling maupun alunan gending membawa suasana hati lebih menyatu dengan tembang-tembang yang dinyanyikan. Komposisi yang sangat harmonis tersebut, mampu menghanyutkan perasaan sekaligus mempermudah memahami serta memaknai isi dari tembang-tembang yang dibacakan.

Sampai saat ini tembang Macopat masih mampu bertahan dan tetap digandrungi oleh masyarakat, terutama yang berdomisili di pedesaan.  Kegiatan pelantuman Macopat dipentaskan sebagai ritual yang tak terpisahkan ketika memperingati berbagai peristiwa yang berhubungan dengan prosesi kehidupan manusia. Dimulai ketika manusia masih dalam kandungan, masa kanak-kanak, memasuki masa akil balig dan ketika memasuki alam dewasa, bersatu dalam mahligai perkawinan. (akhir)


 Tulisan bersambung:

  1. Tembang Macapat “Media Dakwah Para Wali”
  2. Tembang Macapat “Media Dakwah Para Wali” (2)
  3. Tembang Macapat “Media Dakwah Para Wali” (3)
  4. Tembang Macapat “Media Dakwah Para Wali” (4)