Kedudukan Wanita Dalam Islam

Oleh  ; El Er Iemawati


            Dewasa ini kaum wanita Indonesia telah hidup setaraf dan sejajar dengan kaum pria. Hal ini dapat dibuktikan dengan kemampuan kaum wanita menempati posisi penting dan strategis di berbagai bidang pekerjaan. Bahkan negara ber-penduduk di atas dua ratus juta ini, di pimpin oleh seorang wanita.

            Berbicara tentang wanita  tentu timbul berbagai pertanyaan, bagaimanakah fungsi dan kedudukan kaum wanita menurut ajaran agama Islam ? Bagaimana kedudukan kaum wanita dalam pembangunan ? Sebelum menjawab pertanyaan di-atas, ada baiknya kita mengetahui pendapat tiga negara besar sebelum datangnya agama Islam. Adapun tiga negara  yang sudah tergolong maju pada waktu itu, yakni yang memimpin dunia di kala itu adalah, Yunani, Romawi dan Persi.

            Pertama, Yunani dengan ibu kota Athena pada waktu itu merupakan pusat ilmu pengetahuan kedokteran dan filsafat, kota kebudayaan dan peradaban. Tetapi dibalik itu pandangan terhadap kaum wanita, tidak lebih dan tidak kurang, wanita disamakan dengan barang dagangan. Wanita diperjual-belikan bagai hewan atau barang-barang lainnya. Wanita dianggap barang najis karya setan. Wanita hanya punya hak mengurus rumah tangga maupun anak-anaknya. Sedemikian rendah martabat  kaum wanita, ia boleh diperjual-belikan dengan harta benda maupun dengan ternak. Dengan kata lain, bangsa Yunani purba pada saat itu menilai kaum wanita tidak berarti apa-apa.

            Kedua, dalam masyarakat Romawi purba, kaum wanita hanya dijadikan sebagai alat. Yakni alat untuk melampiaskan nafsu, yang boleh diperlakukan menurut kehendak laki-laki. Wanita hanya dianggap sebagai bunga  indah, yang boleh dipetik sebanyak-banyaknya menurut kesenangan, setelah itu dicampakkan. Dengan adat dan tradisi semacam itu, maka bangsa Romawi purba memperbolehkan poligami dengan tiada batas.

            Ketiga, bangsa Persi menganggap bahwa kaum wanita tidak mempunyai persamaan hak dengan kaum pria. Kehidupan kaum wanita selalu terbelengu dan dibelenggu. Dengan kata lain  kaum wanita tidak mempunyai hak azasi, karena wanita tak lebih hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis kaum pria semata. Wanita hanya dijadikan budak yang harus patuh dan taat menurut kehendak kaum pria.

            Demikianlah pendapat tiga negara besar masa lampau tentang wanita. Lebih lengkap lagi apabila diketengahkan pula pendapat-pendapat dari agama Yahudi, Hindu dan Arab jahilliyah tentang wanita.

Kaum Yahudi ber-pendapat bahwa wanita tak lebih dari makhluk jenis setan. Yang ber-tugas menggoda kaum pria supaya terjerumus ke lembah kecintaan keduniawian. Tidaklah mengherankan, kala itu kaum Bapak Yahudi menghalalkan penjualan anak perempuannya sendiri untuk menutupi kebutuhan hidup mereka, apabila ada keperluan mendadak.

            Adapun agama Hindu ber-pendapat bahwa kaum wanita adalah sumber dari segala kejahatan. Hal ini dapat dibuktikan dalam kitab suci Regweda, dimana Sang Hyang Manu ber-sabda dan bunyi lengkapnya sebagai berikut ; “Manusia akan kehilangan kemuliaannya karena kaum wanita. Sesungguhnya wanita-lah sumber kejahatan, maka hindarilah mereka itu”.

            Sejalan dengan pendapat di atas, orang Arab jahilliyah sebelum datangnya cahaya Islam menganggap bahwa kaum wanita adalah sumber dari segala kejahatan. Sehingga apabila mereka dianugerahi anak perempuan, maka merah padam-lah muka mereka karena  sedih. Karena menahan amarah, mereka menyembunyikan dirinya dari pandangan masyarakat. Mereka sembunyikan anak perempuan mereka. Lalu anak perempuan itu secara keji di kubur hidup-hidup. Hal itu ditorehkan dalam kitab yang Agung, Al-Qur’anul  Karim.

            Setelah cahaya Islam datang yang di bawa oleh Nabi Besar Muhammad SAW, citra dan martabat kaum wanita diangkat sedemikian tinggi. Dalam surat At-Taubah 71, Allah SWT menegaskan : “Kaum ber-iman apakah dia laki-laki atau dia wanita, masing-masing sama hak dan kewajibannya. Masing-masing mempunyai kedudukan yang sama dalam menganjurkan kebaikan, mencegah kejahatan. Sama-sama mengerjakan sholat, mengeluarkan zakat, sama-sama mematuhi Allah dan Rasul Nya. Mereka itu semuanya, ya wanitanya, ya prianya mendapat Rahmat  Allah itu Maha Jagat dan Maha Bijaksana “.

            Memperhatikan ayat di atas, maka dengan jelas agama Islam memberikan kedudukan dan hak yang sama antara pria dan wanita. Kedudukan wanita telah diatur sebaik-baiknya sesuai dengan harkat dan martabat sebagai makhluk Allah. Bahkan di dalam salah satu surat kitab suci Al-Qur’an, ada satu surat khusus kaum wanita, yaitu surat An-Nisa’. Dan terdapat pula kurang lebih sepuluh surat yang menerangkan persoalan-persoalan wanita. Tak dapat dipungkiri bahwa agama Islam memuliakan dan meninggikan derajat kaum wanita.

            Banyak sekali hadist-hadist yang disampaikan Rasulullah tentang peranan kaum wanita, tentang ketinggian derajat dan martabat kaum wanita. Dalam salah satu hadist, beliau ber-sabda : “Wanita itu adalah soko-guru negara. Kalau wanitanya baik dan terdidik, maka negara akan baik pula dan jika wanitanya rusak, rusak-lah negara”.

            Pada zaman Rasullullah banyak sekali kaum wanita yang menunjukkan kemampuannya, di medan perang Khaibar, Ummu Salamah dan Ummu Sinaan turut serta menyumbangkan darma-baktinya, sementara itu Ummu Hani ber-partisipasi secara aktif dalam siasat urusan perang. Di bidang dakwah, nama Siti Khatijah berkibar, sedangkan Siti Aisyah memperoleh kesempatan menyebarkan ilmu di-kalangan sahabat (pria maupun wanita), sehingga beliau ditasbihkan sebagai Maha Guru.

            14 abad silam, wanita telah mempunyai kedudukan yang sangat kokoh dan diperhitungkan keberadaannya. Namun dalam perjalanan selanjutnya sejarah mencatat, derajat dan martabat kaum wanita kembali terpuruk sejalan dengan masa-masa redup dan  suramnya agama Islam.

 Sementara itu di belahan bumi barat, kaum feminis mengibarkan bendera persamaan dan kebebasan yang sama. Kaum feminis ini membuat mitos-mitos dan mendorong kaum wanita memburu kemandirian dengan menghalalkan segala cara, sekalipun cara itu mengabaikan kodrat alam.

            Hal tersebut diperparah oleh hadirnya media massa, baik cetak maupun elektronik. Media massa telah meracuni pikiran kaum wanita dengan menjejali berbagai tayangan sinetron, film dan berbagai acara drama. Namun hal tersebut di atas tidak disadari oleh wanita muslim, karena banyak wanita masa kini – khususnya wanita muslim – yang begitu mudah menerima dan menyerap apa saja yang datang dari budaya barat tanpa mem-filter sedikit-pun.

            Wanita adalah tiang negara, kualitas sebuah generasi ber-gantung kepada keberadaan kaum wanita. Sangatlah menarik apa yang dikatakan oleh Ustadzah Yoyok Yusroh, seorang pendakwah dan pendidik, tentang fenomena wanita di Indonesia. Beliau mengatakan bahwa saat ini budaya menonton  sudah sangat kuat di kalangan wanita Indonesia. Padahal, suatu bangsa tidak akan menjadi cerdas dengan budaya menonton, tapi budaya mem bacalah yang mencerdaskan suatu bangsa.

            Tugas berat inilah yang kini di emban oleh pemerintah daerah di tengah amuk budaya global. Karena pemerintah daerah ber-kewajiban menyelenggarakan serta menyediakan sarana dan pra sarana  pendidikan, baik informal maupun formal. Di lembaga sekolah inilah, generasi mendatang mendulang berbagai disiplin ilmu. Penanaman kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, penguasaan sains, matematika dan bahasa asing. Menumbuhkembangkan daya juang, profesionalisme, wawasan keunggulan.

            Penguasaan ilmu pengetahuan, keluasan wawasan serta pembekalan berbagai disiplin ilmu, akan membantu kaum wanita dalam mentransferkan kepada putra-putrinya. Karena kaum wanita (ibu) menjadi orang pertama yang mengajarkan dasar-dasar agama, yaitu dengan memantapkan  iman di dalam benaknya sekaligus membina sektor akhlak, menanamkan nilai-nilai moral, budi pekerti luhur serta menanamkan sikap hidup hemat, disiplin, tertib dan  tekun.

            Di tengah jaman  yang memuja hedoisme, tak salah kiranya apabila kaum wanita masa kini kembali bangkit dan menemukan jati diri yang sebenarnya. Yaitu dengan jalan memperluas wawasan dan cakrawala berfikir, membekali diri dengan berbagai disiplin ilmu dan tidak pernah berhenti mencari dan mengembangkan diri, tanpa harus menjadi tumbal budaya global di tengah arus modernisasi.