Lilik
Rosida Irmawati
\Kesetaraan gender yang diperjuangkan oleh perempuan, lambat laun telah membawa perubahan yang cukup signifikan. Hak-hak azasi perempuan telah mencapai titik maksimal dan mengalami perubahan yang sangat cepat. Terlebih-lebih setelah perang dunia ke I dan PD II, ketika perempuan mulai tampil di arena publik untuk menggantikan posisi laki-laki yang berkurang akibat menjadi korban perang. Dengan bekerja di sektor publik, kaum perempuan mulai memahami dan menyadari akan status dan hak-haknya. Dinamika gerakan kesetaraan gender ini lambat laun merambah ke belahan dunia ketiga yang baru memperoleh kemerdekaan.
Kemerdekaan yang diperoleh oleh beberapa negara di dunia ketiga telah
membukakan sebuah kesadaran baru perlunya kesetaraan gender. Kesadaran
tersebut terutama dihembuskan dan diperjuangkan oleh perempuan-perempuan
yang tinggal di kota besar dan mendapat pendidikan tinggi. Kelompok
elit di kalangan perempuan perkotaan melakukan gerakan-gerakan
feminisme, dan melakukan proses demokratisasi dan konsep hak-hak azasi
manusia. Kesadaran yang lebih tinggi akan kesetaraan gender, juga telah
memberikan dampak pada upaya perumusan undang-undang tentang
keperempuanan. Undang-undang keperempuanan tradisional semakin
ditinggalkan oleh masyarakat modern.
Namun demikian perjuangan tersebut mengalami beberapa hambatan,
diantaranya adalah adanya kelompok ortodoks yang masih sangat kuat.
Kelompok ini menolak melakukan perubahan dan tetap mempertahankan
undang-undang tradisional. Undang-undang tradisional merupakan produk
dari masyarakat kesukuan dan masyarakat feodal, di mana perempuan
memiliki peranan yang subordinat dan dibatasi hanya dalam wilayah
domestik, dan perempuan hanya ditempatkan pada posisi sekunder.
Walau banyak kesulitan gerakan feminisme terus mengalami perkembangan.
Banyak perempuan, khususnya kelompok elit yang memiliki strata sosial
tinggi mampu melakukan perubahan-perubahan yang berarti dalam
masyarakatnya. Contoh nyata tersebut dapat disimak dari perjalanan R.A
Kartini sebagai sosok terdepan penggerak serta penggagas kesetaraan
gender. Melalui tulisan (surat-surat), yang terangkum dalam buku, “Habis Gelap Terbitlah Terang”,
pikiran-pikiran beliau tentang persamaan hak, tentang pentingnya
pendidikan perempuan, peranan wanita sebagai pendidik pertama dan utama,
tentang penguasaan ilmu pengetahuan dan agama, wawasan yang luas,
ber-budaya, berbudi luhur, ber-kepribadian, berwatak dan mempunyai
moralitas tinggi merupakan esensi dari perjuangan R.A Kartini untuk
kaumnya. Butir-butir yang disampaikan oleh R.A Kartini tersebut
merupakan modal utama bagi perempuan untuk membangun sebuah peradaban,
dan itu berkaitan langsung dengan peranan perempuan sebagai garda
terdepan sebagai pen transfer ilmu kepada anak bangsa. Di pundak
perempuan tugas mulia tersebut dibebankan, karena peranan pertama yang
dipikul oleh perempuan (ibu), adalah dalam hal pendidikan moral dan
peletakan dasar watak dan kepribadian anak didik. Surat-surat R.A
Kartini ternyata mampu memberi nafas serta inspirasi bagi perjuangan
kaum perempuan di era berikutnya.
Lambat laun, derajat perempuan semakin terangkat, doktrin mengenai hak,
martabat dan derajat kaum perempuan mulai diselaraskan serta dikemas
secara utuh dalam pondasi kuat, sehingga hak-hak perempuan semakin
ditegakkan. Dalam percaturan politik dunia, wanita menepati sektor
penting serta memegang peranan ganda. Dari tokoh-tokoh dunia, muncullah
Indira Gandhi, Margaret Teacher, Golda Mriyer, Corazon Aquino, Benazi
Butto dan lainnya. Sedangkan di Indonesia, telah dikenal nama R.A
Kartini, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika,
Ranua Said dan masih banyak lagi yang merupakan perwujudan kebangkitan
perempuan dalam proses pembangunan.
Dalam sejarah kebangkitan Islam, tokoh-tokoh dan pejuang perempuan
Islam cukup dikenal, diantaranya Siti Aisyah sebagai ahli Hadist, fiqih,
faraid, asbabun nuzul Qur’an, selain sebagai pejuang dalam peperangan
membantu perjuangan agama Islam. Siti Hapsah binti Umar dikenal sebagai
guru para muslimat dalam membaca dan menulis Qur’an pada awal sejarah
Islam. Dalam percaturan politik, dikenal nama Fatimah binti Rasullullah,
Aisyah binti Abubakar, Atikah binti Yasid, Ummu Amarah, Nusaibah,
Shofiq binti Abu Tholib dan Hatumah. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh
wanita Islam lainnya yang bergerak dalam bidang sastra, kedokteran dan
para hafidhah Al-Qur’an.
Ukiran sejarah perempuan diawali oleh Kongres Perempoean, 22 Desember
1928. peristiwa tersebut merupakan tonggak sejarah pergerakan perempuan
Indonesia. Dalam proses selanjutnya, perjuangan kaum perempuan tidak
terbatas pada sekedar menuntut hak, tapi bagaimana menciptakan iklim
perubahan yang sama kepada setiap warga negara, yaitu dapat ber peran
serta dalam pembangunan nasional. Dari iklim yang demikian itu lahirlah
sosok dan profesinya.
Secara kodrati dalam beberapa hal memang masih terjadi perbedaan
perempuan dan kaum laki-laki. Dari perbedaan itulah muncul
kelebihan-kelebihan yang mungkin sulit ditemukan pada kaum pria.
Substansi perempuan sebagai totalitas, mampu memberikan nilai lebih pada
kepentingan diri maupun masyarakat, yaitu terbentuknya dimensi dan
sifat-sifat kodrati kewanitaan lengkap dengan atribut, sehingga tak
jarang mengarah pada jenjang karir yang profesionalisme.
Dalam pertumbuhan emansipasi perempuan pada dekade ini, sudah hampir
disebut tidak ada kesenjangan, bahkan jarak antara peran pria dan
perempuan telah menjadi ujud kesatuan dalam perannya menentukan
kelayakan sama dalam struktur masyarakat modern. Pelecehan dalam pameo,
wanita sebagai “wong wingkin” atau “swargo nunut, neraka katut”,
lambat laun makin menipis dan tidak tertutup kemungkinan pelecehan
tersebut terbalik diarahkan pada kaum pria. Namun demikian, sinyalemen
di atas tergantung sejauh mana pemahaman perempuan tentang
emansipasinya. Paling tidak perempuan bukan lagi menjadi bagian
terpenting urusan belakang, baik sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai
penentu sikap dan perubahan masalah ekonomi, sosial masyarakat maupun
dunia luar.
Keberhasilan yang dicapai oleh kaum perempuan dalam memperjuangkan
emansipasi dan kesetaraan gender masih belum maksimal, hal itu dapat
dicermati dari perjuangan kaum feminis untuk mendapatkan hak yang sama
dengan kaum pria, salah satunya adalah hak ber-politik. Dengan terjun ke
arena politik yang didominasi kaum pria, maka perempuan akan mampu
mengambil keputusan yang berkaitan dengan dirinya sendiri, keluarga
maupun komunitasnya, dan negara. Hal ini disebabkan banyak sekali
keputusan-keputusan yang diambil sebagai kebijakan publik, tidak
mewakili aspirasi perempuan. Dengan memasuki arena politik, kaum
perempuan mampu menentukan sikap dalam pengambilan keputusan dan
menentukan keputusan tersebut (akses dan kontrol atas keputusan
politik).
Keberanian kaum perempuan merambah area politik berangkat dari besarnya
jumlah kaum perempuan di Indonesia yang mencapai 52 %, namun hanya
mendapat kuota 30 % di lembaga Legeslatif. Perjuangan panjang perempuan
dalam arena politik dilatarbelakangi akibat adanya ideologi patriarki,
yang ditandai oleh ketidak-adilan yang bersumber pada dominasi
kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, hubungan kekuasaan berbasis
umur, kelas sosial, keturunan, suku, bangsa, bahkan agama, ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Ketidak-adilan seperti itu selalu memunculkan apa yang disebut sebagai
kekerasan, diskriminasi, Stereotipi, dominasi dan beban ganda bagi
perempuan di dalam keluarga, di kampung, di tempat ibadah, di tempat
kerja, di pasar, di sekolah, dan juga di lembaga legeslatif,
pemerintahan dan peradilan. Sehingga rumusan yang diperjuangkan oleh
kaum perempuan di area politik terdiri dari tujuh kepentingan perempuan,
yang dirumuskan sebagai berikut: (1) Perwujudan perdamaian, (2)
Pemberantasan korupsi, (3) Pembebasan dari hutang negara, (4) Penegakan
hak azasi manusia, (5) Penghapusan semua bentuk diskriminasi, (6)
Pengembalian kedaulatan rakyat, dan (7) Penguatan akses dan kontrol
perempuan terhadap pengambilan keputusan di dalam partai politik,
Perjuangan tersebut disuarakan oleh perempuan dengan berpijak pada
kenyataan bahwa partai politik atau politisi pada umumnya kurang
memahami masalah perempuan, juga tidak peduli dengan kepentingan
perempuan. Ketidakpedulian tersebut ditunjukkan dengan hasil riset yang
dilakukan oleh Solidaritas Perempuan terhadap beberapa partai pemilu
2003 di empat kota yaitu, Jakarta, Palembang, Yogjakarta dan Makassar.
Hasil riset menunjukkan bahwa program maupun aturan internal sebagian
besar partai politik tidak mengakomodir kepentingan perempuan. bahkan
beberapa partai politik memiliki sikap yang berlawanan dengan
kepentingan perempuan. faktor ketiga adalah, kecenderungan partai-partai
politik atau politisi berpihak pada kepentingan pada para pemilik
modal dari berbagai negara industri.
bersambung ke Dari Kodrat, Emansipasi dan Profesi
bersambung ke Dari Kodrat, Emansipasi dan Profesi