Kesetaraan Gender Dalam Islam

“Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,maka sesdungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasankepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.“ (An-Nahl : 97)

Sebelum nabi Muhammad Saw diutus kedudukan kaum perempuan di masyarakat sangat rendah. Pada masa peradaban Yunani kaum perempuan disebut sebagai kotoran setan. Zaman berikutnya, era Romawi, nasib perempuan pun tidak lebih baik. Baik dalam keluarga maupun masyarakat kekuasaan masih didominasi kaum laki-laki. Perempuan tidak mendapatkan hak privat termasuk hak waris. Di benua Hindia dikala itu seorang laki-laki yang meninggal dunia, isterinya harus bersedia dibakar hidup-hidup bersama jenazah suaminya. Di kalangan masyarakat Arab jahiliyah sebelum Islam, seorang bapak akan malu bila isterinya melahirkan seorang bayi perempuan, maka segera ia menguburkannya hidup-hidup.

Nabi Muhammad Saw diutus untuk membawa rahmat bagi seluruh alam. Termasuk kaum perempuan yang terangkat martabatnya Islam datang. Dalam kehidupan rumah tangga misalnya, antara pihak suami dan pihak isteri masing-masing ditetapkan hak dan kewajibannya yang diatur secara adil. Hak dan kewajiban itu ditetapkan sesuai dengan fitrahnya.

Kelebihan kaum perempuan dari lakilaki berdasarkan fitrahnya, bahwa para ibu bisa melahirkan anak-anaknya, merawatnya dan menjadi pengasunya. Patutlah bila para ibu disebut sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya. Disinilah letaknya pandangan al-Qur’an dalam menghargai kaum perempuan. Mereka adalah refleksi dari terwujudnya harapan manjusia dan kemanusiaan yang agung. Dari jerih payah ibu dalam mengasuh dan mendidik putraputrinya ini, lahirlah generasi umat yang cerdas, beriman dan bertakwa yang berguna bagi nusa, bangsa dan agama.

Al-Qur’an memandang kaum laki-laki dan perempuan secara setara. Karenanya mereka mesti bisa bekerja sama secara simbiotik mutualistik yang saling menguntungkan. Bila selama ini terjadi bias gender, hal itu disebabkan adanya perlakuan kaum laki-laki yang kurang mengakomodasi pandangan dan pemikiran kaum perempuan.

Sebagaimana kaum laki-laki tidak semua optik perempuan selalu objektif dan positif. Adakalanya bersifat destruktif. Al-Qur’an adanya dua orang perempuan yang diadzab oleh Allah karena kedurhakaannya.
Pada hal keduanya isteri orang-orang yang shalih Mereka itu adalah Wali’ah, istri nabi Nuh As yang tenggelam bersamasama dengan orang-orang yang durhaka lainnya dan Walihah istri nabi Luth As yang juga diadzab Allah bersama-sama kaum nabi Luth lainnya yang melakukan liwath (persetubuhan sesama jenis kelamin) seperti kaum lesbian dan gay saat ini. Kedua orang perempuan tersebut tidak dapat diselamatkan sekalipun suaminya yaitu nabi Nuh dan nabi Luth As adalah utusan Allah. Masingmasing mempertanggungjawabkan sendiri keyakinan dan amal perbuatannya.

Sebaliknya dalam ayat 11 surat yang sama disebutkan adanya seorang yang beragama monoteisme -tauhid- beriman kepada Allah yang maha esa, walaupun suaminya yaitu Raja Fir’aun kafir dan mengaku dirinya sebagai tuhan yang minta disembah. Pada ayat 12 surat at-Tahrim berbeda lagi.

Dalam keadaan menyendiri tanpa suami, seorang perempuan bernama Maryam binti Imran ditetapkan oleh Allah sebagai perempuan suci yang senantiasa mengabdi dan beribadah kepada Allah. Tapi kemudia ia dikaruniai anak pada hal tidak bersuami.

Anak itu adalah nabiyullah Isa As. Al-Masih memberikan contoh kaum perempuan yang destruktif maupun konstruktif. Dalam al-Qur’an surat at-Tahrim ayat 10 ditunjukkan Isa bin Maryam adalah nabi terakhir dari nabi-nabi kaum Bani Israil. Dilahirkan di kota Bethlehem. Kelahirannya merupakan mukjizat ilahi. Ibundanya, Maryam binti Imran adalah seorang perawan yang dikenal suci dan sangat menjaga kehormatan dirinya.  Ketika melahirkan Isa As merupakan ujian yang sangat berat baginya.

Kisah dalam al-Qur’an tersebut menunjukkan bahwa kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki. Mereka mempunayai peranan sendiri baik yang bersifat positif maupun negatif. Kisah dua orang yang diadzab karena kedurhakaannya dan dua orang perempuan yang beriman dan taat kepada Allah dalam surat at-Tahrim tersebut, bahwa sebagaimana pihak lakilaki kaum perempuanpun diberi kebebasan memilih keyakinan dan amal perbuatannya.

Riwayat ini sekaligus menjawab ungkapan orang dalam bahasa Jawa “wong wadon iku, suwargo nunut neroko katut” (Bagi seorang perempuan, surganya maupun nerakanya tergantung suaminya). Ungkapan ini tidak sesuai dengan fakta sebagaimana yang dikisahkan dalam al-Qur’an surat at-Tahrim tersebut. Sebab baik laki-laki maupun perempuan amal perbuatannya akan dibalas oleh Allah sesuai dengan keimanannya dan keikhlasannya masing-masing. •RAW/MPA 355 / April 2016 5