Di Tengah Deras Hujan


Pentigraf: Lilik Rosida Irmawati

Ada rasa was-was di benak Marni melihat hitam pekat mendung bergelantung, selayang mata memandang memenuhi penjuru langit. Kesiur angin dingin mulai menusuk kulit, dan burung hitam walet berseliweran terbang rendah penuh kecepatan tinggi di antara ranting cemara. Hampir jam dua, namun tanggung untuk pulang karena sedikit menunggu limit laporan on line. Marni mesti berjibaku sendiri menyelesaikan semua tugas karena operator sekolah lebih memilih job baru sebagai operator propinsi. Ketika Parto masuk ruangannya tanpa permisi, Marni terkesiap. Penjaga sekolah yang baru bertugas satu bulan itu tersenyum, namun di mata Marni itu bukan senyuman tapi sebuah seringai, dan sorot mata pancarannya menakutkan. Marni menekan rasa takut, mematikan komputer dan dengan sopan mengajak Parto berbincang di ruang tamu. Parto sepertinya enggan beranjak dan hanya menggeser tubuhnya ke pintu kemudian berdiri ditengah.

Bentakan Marni menyadarkan Parto, dan akhirnya laki,-laki pendek berkulit legam itu surut dan melangkah ke arah kursi. Dalam hitungan detik Marni memencet nomor dan meletakkan HP di atas meja dalam posisi menyala kemudian beranjak ke luar ruangan. Marni mencermati demikian berani Parto melahap seluruh tubuhnya dengan pandangan penuh birahi. Mata laki-laki itu memerah, jakun naik turun dan mengulum bibirnya. Di tengah kekalutannya Marni tetap berusaha tenang dan menanyakan apakah pintu kelas semua sudah terkunci? Parto menyeringai dan menjawab bahwa semua pintu terkunci termasuk pintu pagar. Marni tergugu, dan sudah bisa membaca gelagat serta niat jahat Parto. Parto rupanya telah memperhitungkan secara matang aksinya. Area sekolah sangat sepi ketika anak-anak pulang, rumah di sebelah timur yang berdempetan dengan kantor tidak akan mendengar apapun karena bangunan atap terbuat dari seng dan akan meredam semua suara dan tidak adanya pintu pagar dengan rumah penduduk. Sebelah barat dan utara lahan kosong. Sedangkan dari arah utara pintu depan butuh waktu satu menit berlari kencang dan itupun kalau pintu pagar dalam posisi terbuka.

Suara petir dan guntur menggelegar disertai hujan deras turun, dan situasi ini lebih memuluskan aksi jahat yang akan dilakukan Parto. Keberanian Partopun semakin besar, perlahan menggeser duduk dan tanpa sungkan menjangkau tangan Marni terus mengelusnya. Ketika hendak menciumnya secara reflek Marni meludahi Parto dan berlari ke arah pintu, namun Parto lebih gesit mengait kaki dan membuat tubuh Marni terjengkang. Pintu kantor secepatnya di kunci oleh Parto, seringainya semakin melebar. Parto melucuti pakaiannya sendiri hingga tinggal celana dalam kumal. Wajah Marni mulai memucat dan itu semakin membuat Parto tertawa penuh kemenangan. Sembari mengangkang satu kakinya menginjak paha Marni kuat-kuat dan jerit kesakitan melengking dari mulut Marni tertelan gemuruh dan gemeretak air di atap. Wajah kesakitan Marni semakin menyenangkan Parto dan ia sedikit bermain-main dengan cara satu kakinya membuka jilbab, melucuti kancing sehingga setengah terbuka dan mengelus-elus wajah terus ke belahan dada. Rontaan dan perlawanan Marni dibalas dengan tendangan sehingga Marni tak berkutik dan hanya bisa mendengus, meludah jijik dengan sorot mata penuh amarah. Wajah Warni semakin pucat karena menahan rasa sakit yang kini menyebar ke sekujur tubuh akibat injakan kuat kaki Parto. Ketika Parto melepaskan injakan kaki kemudian berjongkok dan mulai beraksi menciumi wajah Marni, bunyi kaca pecah dan pintu tercongkel dari luar menghentikan aksi Parto. Marni berteriak histeris memeluk dan pinsan di pelukan pak Jodi yang telah membaca pesan SOS via group WA serta HP Marni yang terus menyala, dan kemudian kembali ke sekolah dengan membawa beberapa warga. Tak berapa lama aparat kepolisian datang, memborgol Parto dalam keadaan tubuh biru lebam kehitaman.

April, 14.4.2019 - 15.05