Adapun
bentuk topeng yang dikembangkan di Madura, berbeda dengan topeng yang
ada di Jawa, Sunda dan Bali. Topeng Madura pada umumnya lebih kecil
bentuknya. Kecuali Semar, hampir semua topeng itu diukir pada bagian
atas kepala dengan berbagai ragam hias. Ragam hias yang paling populer
ialah hiasan bunga melati. Sedangkan untuk tokoh-tokoh penguasa zalim,
digunakan ragam hias badge, yaitu lambang yang dipakai para penguasa
kolonial Belanda. Selain itu topeng Madura ada dua jenis, satu berukuran
seluas telapak tangan, satu lebih besar. Bentuk topeng ini tidak
sepenuhnya bisa menutup wajah penari, terutama dagu, maka gerak dagu
dalam setiap pementasan tidak dapat disembunyikan, dan ini memberikan
nilai estetik tersendiri. .
Adapun
penggambaran karakter pada topeng Dalang selain nampak pada bentuk muka
juga tampak pada pemilihan warna. Untuk tokoh yang berjiwa bersih dan
suka berterus terang digunakan warna putih. Sedangkan warna merah,
digunakan untuk tokoh-tokoh tenang dan penuh kasih sayang (tokoh
Yudistira), hitam untuk tokoh yang arif bijaksana, bersih dari nafsu
duniawi (tokoh wayang Krisna). Untuk penggambaran tokoh anggun dan
berwibawa, digunakan warna kuning emas (tokoh wayang Subadra). Sedangkan
penggambaran tokoh yang pemarah, licik dan sombong memakai warna
kuning.
Begitu
pula konsep karakter tokoh topeng, setelah menyebar ke berbagai
wilayah para dalang memodifikasi sesuai dengan karakter daerah dimana
topeng itu tumbuh dan berkembang. Sehingga tidak mengherankan kalau
konsep karakter tokoh-tokoh wayang Madura dengan konsep karakter topeng
Jawa Tengah agak berbeda. Salah satu contoh adalah, di lingkungan
Astina, Suyudana sang Raja, ternyata oleh orang Madura dicitrakan
sebagai raja yang lemah lembut, dan topeng nya diberi warna hijau sahdu.
Di Jawa Tengah dan Solo, Suyudana adalah raja yang citranya keras dan
cenderung kasar.
Ciri khas yang paling spesifik dan unik dari topeng dalang Madura adalah dipakainya ghungseng (giring-giring) dipergelangan kaki penari. Pemakaian gungseng (giring-giring)
tersebut bukan hanya sekedar hiasan, bunyi giring-giring yang selalu
terdengar setiap kaki penari bergerak menjadi alat bantu yang ekspresif
sekaligus menjadi media komunikasi para penari, karena para penari
sepatah pun tak boleh berdialog (dialog dilakukan sang dalang, dan tokoh
Semar). Di samping itu, ghungseng dipergunakan sebagai kode perubahan gerakan dalam cerita, misalnya bunyi sreng (panjang) berarti aserek, dan bunyi kroncang-kroncang berarti para pemain sedang berjalan. Ghungseng biasanya dikenakan oleh para pemain yang berperan sebagai tokoh antagonis.
Topeng
dalang Madura yang dikenakan para pemain, terkesan cukup sederhana,
bersahaya dan agak kaku ukirannya, inilah salah satu hal yang membedakan
dengan topeng Yogjakarta, Solo, Bali ataupun daerah Jawa lainnya.
Barangkali karakteristik topeng Madura, diidentikkan dengan pembawaan
dan karakter orang Madura yang terkenal keras, kaku tetapi polos dan
jujur.
Adapun
dalam setiap pementasan seluruh pemain topeng Dalang serta para penari
didominasi pemain laki-laki. Setiap pementasan dibutuhkan penari
sebanyak 15 sampai 25 orang dalam setiap lakon, yang dipentaskan semalam
suntuk. Adapun aksesoris yang dibutuhkan para pemain meliputi, ; taropong, sapiturung, ghungseng, kalong (kalung) rambut dan badung ; sedangkan untuk pemeran wanita, aksesoris tambahan berupa, sampur, kalung ular, gelang dan jamang.