LMI Sumenep: Memberdayakan Umat

Potensi terbesar untuk mengembangkan pemberdayaan ekonomi umat Islam adalah zakat, infak dan sodaqoh. Namun potensi tersebut belum mampu mengangkat derajat perekonomian umat Islam karena belum dikelola secara terpadu dan secara profesional. Pengelolaan ketiganya, khususnya zakat yang tidak menyatu ini disebabkan oleh kultur masyarakat yang masih mempercayakan pengelolaan zakat kepada elite agama di wilayah masing-masing. Hal itu menyebabkan dana yang terhimpun dan disalurkan kepada yang ber-hak menerima bersifat sementara dan digunakan secara konsumtif. Kalau diumpamakan hanya memberikan ikan, tetapi tidak memberikan umpan (kail). Sementara itu lembaga yang menangani penerimaan dan pengelolaan amil zakat dianggap belum mampu menunjukkan kinerja yang profesional.

Walaupun lembaga yang menangani secara resmi sudah ada, yaitu Bazis badan zakat, infak dan sodaqoh. Hanya saja badan Bazis ini masih belum optimal, pertama karena gairah dari masyarakat tidak dapat diarahkan secara keseluruhan untuk menyerahkan zakat mal-nya ke Bazis, dan masih banyak masyarakat yang lebih puas kalau menyerahkan sendiri sebagian zakatnya kepada para mustahik. Ketidakoptimalan lembaga yang sudah ada disebabkan oleh berbagai faktor.

Namun demikian lembaga Amil Zakat yang dikelola oleh lembaga swsta berkembang dengan baik, salah satu lembaga tersebut adalah LMI (Lembaga Manajemen Infak) yang berpusat di Surabaya dan telah mempunyai cabang di 18 kota/kabupaten di Jawa Timur. Di wilayah Sumenep sendiri, LMI yang berkantor di jalan Urip Sumoharjo, 21 telah melebarkan sayapnya di seluruh wilayah daratan dan telah mempunyai donatur tetap sebanyak 330 orang. Sebagaimana lembaga Amil Zakat lainnya, LMI Cabang Sumenep dalam program kegiatannya menerima dan menyalurkan zakat, infaq, sodaqoh dan wakaf. Menurut Naryo, S. Pd., ketua Cabang LMI Sumenep, visi yang di emban oleh LMI adalah menjadi lembaga sosial yang mengakar di Jawa Timur dan sebagai pelopor penyaluran zakat, infak, sodaqoh dan wakaf.

Ada 8 program kegiatan yang dilaksanakan oleh LMI Sumenep, yaitu ; 1). Beasiswa Anak Asuh, 2). Santunan Anak Yatim, 3). Pengobatan Gratis, 4). Sehat Ibu dan Buah Hati, 5). Peduli Guru dan Dai, 6). Santunan Kesehatan, 7). Santunan Dhuafa, dan 8). Ekonomi masyarakat Sejahtera. Menurut Naryo, dari 8 program yang digulirkan ada yang berbentuk sosial dan santunan yang bersifat satu kali habis. Sedangkan untuk program Ekonomi Masayarakat Sejahtera dengan cara memberikan modal bergulir lunak, pinjaman lunak bagi mereka yang mau berusaha dan yang mempunyai usaha kecil-kecilan. Program ini telah berjalan selama tiga tahun, pihak LMI bekerjasama dengan pihak ketiga yakni BPRS. Nominal dana yang digulirkan sebesar 500 ribu rupiah dan dikembalikan selama 1 tahun dan tanpa bunga.

Menurut Naryo, untuk menarik minat para muzakki agar mau mengeluarkan zakat, infaq dan sodaqoh melalui lembaga yang dipimpinnya, yaitu dengan jalan menyusun program-program yang populis. Bukan hanya program yang populis dan layak jual tetapi juga dibarengi dengan SDM yang bekerja penuh dedikasi serta manajemen yang baik. Melalui 8 program penyaluran yang ada diharapkan seorang donatur tidak hanya berpartisipasi dalam satu program saja tetapi juga tertarik dengan program lain. Dan untuk meyakinkan para donatur dan muzakki, pihaknya secara pro aktif menyampaikan program tersebut pada masyarakat. Dengan pola marketing yang pro aktif dan secara terus menerus memberikan satu penjelasan, memberikan wacana tanpa henti maka diharapkan masyarakat dan para muzakki akan dengan sukarela menyerahkan zakat, infaq dan sodaqoh untuk disalurkan kepada yang berhak menerima.

Tentunya kepercayaan besar yang diberikan para donatur dan muzakki benar-benar dilaksanakan penuh tanggungjawab, baik secara moral maupun sosial. Melalui 8 program yang digulirkan, LMI Sumenep berharap benar-benar akan mampu memberdayakan umat. Karena LMI bukan hanya sekedar talang air, imbuh Naryo, dalam artian bukan hanya sekedar menjadi penyalur saja tetapi LMI menginginkan dana masyarakat yang dipercayakan untuk dikelola LMI dan disalurkan kepada para mustahik akan mampu menjadikan masyarakat mustahik lebih berdaya. Diharapkan dana yang diterima para mustahik mampu memberdayakan dirinya. Oleh sebab itu LMI tidak hanya sekedar menyalurkan dana kepada mustahik, tetapi juga melakukan pendampingan dan bimbingan. Dengan demikian dalam diri para mustahik tertanam kesadaran untuk berjuang memberdayakan dirinya, dan suatu saat, kelak akan mampu menjadi seorang muzakki.

Untuk lebih melebarkan sayap dan mengembangkan program agar lebih di kenal oleh masyarakat. LMI melakukan kemitraan denga berbagai pihak. Kemitraan yang dibangun diantaranya dengan lembaga keuangan, bank, Pemerintah Daerah maupun lembaga lainnya. Naryo berharap, semua lembaga amil zakat tidak berjalan berdiri sendiri-sendiri, tetapi lembaga amil zakat yang ada saling bersinergi. Dengan demikian energi yang ada di masyarakat bisa dikumpulkan bersama-sama untuk memberdayakan umat secara bersama-sama. Namun hal itu masih cukup sulit, kata Naryo, mengingat bahwa masing-masing lembaga mempunyai visi dan misi sendiri.

Dengan membangun kemitraan maupun sinergi dengan lembaga amil zakat lainnya, Naryo yakin persoalan umat akan dapat teratasi dengan baik. Masalah kesenjangan sosial, masalah kemiskinan, masalah sosial akan terselesaikan dalam hitungan tahun. Dan itu memerlukan kerjasama dengan semua lembaga amil zakat yang ada untuk bersama-sama bekerjasama dengan didasarkan saling memiliki, saling merasakan dan saling sepenanggungan dan benar-benar bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan. Zakat, tandas Naryo merupakan solusi terbaik dan menjadi modal utama bagi pemberdayaan perekonomian umat. Naryo mencontohkan pada saat jaman khalifah Umar bin Abdul Aziz, hanya dalam hitungan 2 tahun pemerintahannya, dengan pendanaan zizwab, maka sulit sekali mecari para mustahik.

Karena apa ? tanya Naryo, hal itu disebabkan bahwa Islam tidak mengenal 2.5 % saja. 2,5 % adalah bagian terkecil dari zakat. Di saping zakat masih ada sodaqoh dan infak yang tidak ada batasnya. Jadi 2,5 % adalah kewajiban minimal seorang muslim untuk menyerahkan sebagian zakatnya kepada masyarakat. 2,5 % itu angka minimal. Dan bagi seseorang yang merasa dirinya muslim, tentunya tidak mau minimalis. Kita barangkali bisa mengingat, tambah Naryo, Abubakar menyerahkan seluruh hartanya untuk diinfakkan dan Umar bin Khattab menyerahkan separuh hartanya, ini benar-benar contoh iman yang kaffah.

Berangkat dari pemahaman akan pentingnya zakat, infaq dan sodaqoh bagi kemaslahatan umat Islam, LMI juga memberikan penyuluhan bagaimana meningkatkan keimanan. Karena dengan keimanan yang baik, tandas Naryo, orang tidak akan mau menjadi minimalis. Mereka tidak hanya menyerahkan 2,5 % saja, tetapi akan meningkat menjadi 10 – 20 % untuk zakat. Naryo menambahkan, selayaknya masyarakat memang perlu terpanggil untuk mengeluarkan zakat yang memang merupakan kewajiban agama, yang  di dalam Al-Qur’an itu hampir-hampir selalu dikaitkan  dengan perintah Shalat. Ketika ada perintah Shalat ada perintah zakat, ternyata katakan kalau shalat-nya sudah berjalan sempurna, tetapi zakatnya masih sulit. Jadi bagaimana masyarakat merasa terpanggil sendiri untuk mengeluarkan zakat-nya yang memang merupakan perintah yang pokok di dalam agama Islam, “Wa aqimus sholata wa aatus zakata”, ketika ada perintah dirikanlah shalat, kemudian ada perintah: keluarkanlah zakat ! Hampir tidak pernah terpisah, artinya apa, jadi kewajiban shalat itu harus dibarengi dengan kewajiban mengeluarkan zakat.

Zakat bukan satu-satunya dana yang mampu mengangkat derajat saudara seiman, masih ada sodaqoh dan infak yang tidak dibatasi ruang dan waktu untuk menyalurkannya. Demikian pula dengan wakaf yang merupakan bentuk ibadah yang dilakukan dengan memisahkan harta pribadi, tambah Naryo, wakaf bisa berupa harta bergerak  atau tidak bergerak dan dapat dimanfaatkan terus menerus oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan syariah. Sedekah jariah ‘Wakaf” ini memiliki karakteristik ; swadaya, keberlanjutan, dan kemaslahatan untuk umum. Dan pahala wakaf akan mengalir abadi.

Menurut Naryo, dari referensi yang dibacanya di BARNAS, secara nasional dana yang beredar di masyarakat, yaitu zakat, infak dan sodaqoh semuanya kurang lebih 19, 3 trilyun dan baru terakses 20 – 30 % saja. Secara garis besar kita belum mengoptimalkan seluruh potensi dana yusyaf yang ada di masyarakat. Penyebabnya menurut Naryo, pertama dari pemahaman zakat sendiri yang masih sangat minim bagi para muzakki, dan yang kedua mungkin di wilayah madura sendiri secara umum mereka lebih menyalurkan secara pribadi, inipun resikonya cukup besar, karena apa ? Sebagaimana pengetahuan kami tentang para mustahik yang senantiasa bergantung pada pemberian zakat. Kalau tahun ini si fulan mengeluarkan zakat, maka mereka berbondong-bondong kesana, dan begitu terus dari tahun ke tahun. Sebenarnya ini tidak mendidik, ini hanya memberikan ikan tanpa kail. Kami menginginkan di LMI ini masyarakat benar-benar berdaya, walaupun mungkin cakupannya tidak banyak, tetapi kalau satu dua bisa teratasi, saya yakin dalam sekian tahun maka seorang mustahik pelan-pelan akan menjadi seorang muzakki. Ini keinginan dari LMI

Tentunya, tambah Naryo, untuk menumbuhkembangkan kepercayaam kepada badan Amil Zakat harus diimbangi dengan manajemen yang baik. Diperlukan manajemen terbuka yang dapat diakses oleh pemberi santunan. Lembaga Amil Zakat benar-benar harus mampu memberikan laporan, dapat diaudit serta kredibel. Dengan demikian maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut akan mampu meningkatkan partisipasinya dan meningkatkan saldo dana serta mensupport program-program yang digulirkan oleh lembaga Amil Zakat tersebut.

Naryo mempunyai keyakinan yang sangat tinggi, dalam hitungan 5 tahun kedepan berbagai persoalan umat yang berkaitan dengan kesenjangan sosial, keterpurukan ekonomi dan masalah kemiskinan akan dapat diatasi. Dengan sebuah catatan, masayarakat yang mampu, para muzakki menyalurkan sebagian harta yang dimilikinya kepada yang berhak menerima. Dan ini bukan hanya menjadi tanggungjawab sebuah lembaga semacam LMI, tetapi membutuhkan sinergi dengan lembaga-lembaga lain yang bergerak di bidang yang sama. Dengan bergandengan tangan dan saling memiliki kesamaan pandangan, memiliki langkah-langkah konkrit dalam pemberdayaan zakat, infak, sodaqoh dan wakaf, maka para mustahik akan mampu memberdayakan dirinya.

Oleh sebab itu Naryo sangat mendukung statemen yang dikeluarkan oleh MUI Sumenep dan diapresiasi oleh MUI Pusat. Mengemis itu haram, statemen ini sangat kami dukung karena mengemis memang suatu pekerjaan yang hina, dan Naryo berharap dengan adanya statemen MUI tersebut dibarengi dengan sosialisasi yang optimal dan nantinya akan dapat menggiring para muzakki untuk menyalurkan sodaqoh, infak dan zakatnya melalui lembaga Amil  Zakat yang ada. (El Er Iemawati)