Teriakan Si Umar Bakri

Judul di atas sangatlah pas dijadikan perumpamaan ketika persoalan-persoalan yang terpendam tiba-tiba mencuat dan memanas. Seperti yang terjadi pada hari Sabtu, 31 Mei 2003, ratusan guru yang tergabung dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menghadiri apel akbar di GOR Sumenep. Ratusan massa yang terdiri dari utusan anak cabang PGRI  dari beberapa kecamatan tersebut, mengusung spanduk yang berisi berbagai tuntutan dan gugatan.

            Tuntutan dan gugatan yang dikemas dalam sebuah deklarasi tersebut dibacakan oleh ketua PGRI, Djoko Sungkono. Dengan lantang, tuntutan dan gugatan tersebut dibacakan dan mendapat applaus luar biasa dari para guru. Penanganan profesionalisme dan peningkatan kesejahteraan tenaga kependidikan, merupakan tuntutan yang paling utama. Selebihnya adalah tuntutan yang berkaitan dengan penataan managemen, penyempurnaan kinerja organisasi menyambut otonomi pendidikan, reformasi pendistribusian kekuasaan serta eselonisasi di jajaran Cabang Dinas Pendidikan kecamatan.

            Menurut Djoko Sungkono, tuntutan dan gugatan dilakukan karena selama terjadi pemandulan dan pemasungan kreatifitas. Hal itu dilakukan oleh pihak birokrat pendidikan, karena para pengelola saat ini masih menganut pola lama dalam menangani pendidikan. Para birokrat pendidikan tidak respek terhadap perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan, lemahnya manajerial, lamban membangun profesionalisme, lamban melakukan pembaharuan serta kurang peka dan peduli dalam upaya meningkatkan kesejahteraan guru. Yang lebih parah adalah jabatan dijadikan ajang komoditas.

             Tuntutan dan gugatan tersebut dibacakan di depan Bupati Sumenep, KH. Ramdhan Siraj, ketua DPRD Sumenep A. Buya Karim, Kadis  Pendidikan, Moh. Zuhri serta undangan penting lainnya. Tidaklah mengherankan kalau orasi tersebut mampu membangkitkan amarah Bupati, sekaligus membuat malu perangkat birokrat pendidikan yang hadir dalam acara tersebut. Karena tuntutan dan gugatan tersebut langsung menukik pada permasalahan yang selama ini tertutup rapat dan sulit untuk dideteksi.

            Menanggapi permasalahan pendidikan yang terjadi di Sumenep, ketua PD I PGRI Jawa Timur, Drs. H. Mattajib, menghimbau kepada Pemkab dan jajaran birokrat pendidikan agar permasalahan yang terjadi di dunia kependidikan dirumuskan bersama. Sesuai dengan nafas Otoda dan implementasi Otonomi Pendidikan. Karena pendidikan telah menjadi tanggung jawab daerah dalam pengelolaannya serta dalam upaya peningkatan mutu dan kualitas pendidikan.

              Sementara itu,  Drs. Asmuni, kepala Cabang Dinas Pendidikan kecamatan Ambunten, memberikan komentar tentang tuntutan dan gugatan yang dilakukan ketua PGRI tidak mencerminkan aspirasi mayoritas guru. Secara substansi tindakan yang dilakukan pada saat demo apel dapat dibenarkan, namun merusak etika birokrasi. Seharusnya tuntutan dilakukan sesuai dengan mekanisme yang benar, yaitu dengan melakukan hearing. Apabila dalam hearing tersebut tidak menemukan titik temu, barulah mengadakan konsolidasi secara besar-besaran. Djoko Sungkono  dianggap tidak kooperatif, bahkan cenderung memprovokasi. (El Iemawati)